BAB
9
WAWASAN
NUSANTARA SEBAGAI GEOPOLITIK INDONESIA
A.
Latar
Belakang dan Pengertian
-
Latar
belakang historis munculnya konsepsi Wawasan Nusantara
Dalam
menyelenggarakan kehidupan nasional di tengah pergaulan antar bangsa, setiap
bangsa membutuhkan Wawasan Nasional untuk menuju ke masa depan. Eksistensi
Wawasan Nasional sangat ditentukan oleh bagaimana bangsa tersebut berdialog
secara dinamis dengan kondisi objektif, kondisi subjektif, dan kondisi
idealistik.
-
Unsur
dasar pemikiran Wawasan Nusantara
1. Geografis,
Geopolitik dan Geostrategi
·
Keadaan Geografis
Dilihat dari segi geografi dan
demografinya, Indonesia merupakan Negara terbesar di kawasan Asia Tenggara.
·
Geopolitik
Dari batasan yang ada terlihat
adanya hubungan erat antara factor geografi suatu Negara dengan strategi dan
politik, terutama politik luar negeri. Dua factor penting lain yang menetukan
kelangsungan hidup suatu Negara adalah kekuatan dan kekuasaan.
·
Geostrategi Indonesia
Letak geografis Indonesia di posisi
silang ternyata berpengaruh besar pada berbagai aspek kehidupan. Disamping
banyak keuntungan, ternyata juga mengundang berbagai bentuk ancaman yang
membahayakan. Untuk menjamin kelangsungan hidup bangsa, dalam menyusun strategi
perlu memperhitungkan faktor-faktor yang tidak menguntungkan tersebut.
B.
Kedaulatan
Negara di Laut, Ruang, Udara, dan GSO
-
Sejarah
perkembangan hukum laut dunia
Sejak berabad-abad lalu dunia telah
diwarnai oleh perdebatan tentang masalah hukum laut Internasional. Persoalan
utamanya ialah apakah laut bisa dimiliki oleh suatu Negara atau tidak, karena
sejarah hukum laut internasional mengenal ada pertarungan antara dua konsepsi
pokok, yaitu :
1. Res
Nullius
Beranggapan bahwa laut tidak ada
yang memiliki, sehingga dapat diambil atau dimiliki oleh siapapun.
2. Res
Communis
Menyatakan bahwa laut adalah milik
masyarakat dunia dank arena itu tidak dapat diambil atau dimiliki oleh
masing-masing Negara.
-
Perjuangan
RI menegakkan kedaulatan di laut
Setelah
Indonesia merdeka, ketentuan Ordonansi 1939 dirasa sangat merugikan, karena
wilayah Indonesia menjadi terpecah-pecah. Antara pulau yang satu dengan pulau
lain diantarai oleh selat yang merupakan laut bebas, sehingga kapal-kapal asing
bisa bebas berlalu lalang. Kondisi tersebut dirasa Indonesia tidak aman.
Untuk
mengubah ketentuan warisan colonial itu maka pada tanggal 13 Desember 1957
pemerintah RI mengeluarkan “Deklarasi Djuanda”. Disitu ditetapkan bahwa lebar
laut wilayah Indonesia adalah dua belas (12) mil diukur dari garis-garis dasar
yang menghubungkan titik terluar dalam wilayah RI atau mendasarkan pada point to point theory. Selain itu, juga
dinyatakan bahwa bentuk geografi Indonesia adalah Negara kepulauan, yang
terdiri atas ribuan pulau besar kecil dengan sifat dan corak tersendiri. Demi
keutuhan territorial dan untuk melindungi kekayaan Negara yang terkandung di
dalamnya, maka pulau-pulau serta laut yang ada diantaranya haruslah dianggap
sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh. Disini terlihat jelas bahwa tujuan
Deklarasi Djuanda ialah:
1. Perwujudan
bentuk wilayah NKRI yang utuh dan bulat.
2. Penentuan
batas wilayah Negara Indonesia disesuaikan dengan Asas Negara kepulauan.
3. Pengaturan
lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keselamatan dan keamanan NKRI.
-
Kedaulatan
Negara di Ruang Udara
1.
Berbagai
teori tentang kedaulatan Negara di ruang udara
Diilhami
konsep Mare Liberum Grotius, Paul Fauchille, seorang ahli hukum Perancis,
mencoba menerapkan dalil itu di ruang udara dengan mengatakan: “udara adalah
bebas” (L’air est libre). Pendapat tersebut ditentang oleh sejumlah sarjana
Inggris, seperti Hazeltine, Westlake dan Lycklama a’Nijeholt, yang berpendapat
bahwa “ruang udara tidak bebas”. Akibatnya muncul dua prinsip yang berbeda,
yaitu Aer Liberum dan Aer Clausum, disusul lahirnya dua teori tentang
kedaulatan di ruang udara :
·
Teori Udara Bebas
·
Teori Negara Berdaulat di Ruang Udara
2.
Beberapa
Konvensi Hukum Udara
·
Konvensi Paris (1919)
·
Konvensi Chicago (1944)
-
Perjuangan
RI menegakkan kedaulatan Negara di GSO
1.
Deklarasi
Bogota 1976
Dalam pertemuan di Bogota, Kolombia
tahun 1976, yang dihadiri oleh tujuh Negara khatulistiwa, yakni Brasil,
Kolombia, Ekuador, Kongo, Kenya, Zaire dan Indonesia, dicapai kesepakatan yang
kemudian dituangkan salam satu deklarasi. Intinya mereka mengajukan tuntutan
atas GSO di atas wilayah territorial mereka.
2.
Pertemuan
Quito (Ekuador) 1982
Pertemuan ini tidak berhasil
mengeluarkan suatu deklarasi, tetapi hanya final minutes yang terdiri dari 6 prinsip, antara lain: bahwa tuntutan
Negara-negara katulistiwa terhadap GSO merupakan tuntutan “hak-hak kelangsugan
hidup” yang harus dilaksanakan melalui penerapan prinsip hukum sui generis bagi GSO.
3.
Konferensi
Unispace II Tahun 1982
Dalam konferensi Unispace II di
Wina tahun 1982, Negara-negara katulistiwa kembali mengusulkan rejim hukum sui generis bagi GSO di bawah pengaturan
PBB atau ITU serta diberikannya hak berdaulat atas GSO bagi mereka.
4.
Pertemuan
Nairobi 1982
Dalam pertemuan ITU di Nairobi,
Kenya, rumusan Pasal 32 (2) Konvensi ITU 1973 diubah dan dinyatakan bahwa dalam
rangka pemanfaatan GSO secara lebih efektif dan ekonomis harus senantiasa
memperhatikan Negara-negara yang membutuhkan bantuan, Negara-negara yang sedang
berkembang dan Negara-negara khusus (katulistiwa).
C.
Ajaran
Dasar Wawasan Nusantara
1. Pengertian Wawasan Nusantara
Berdasarkan
TAP MPR RI Tahun 1993 dan 1999 tentang GBHN, wawasan nusantara ialah: “Cara
pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenal diri dan lingkungannya dengan
mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam
menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara untuk
mencapai tujuan nasional”.
2. Unsur Dasar Konsepsi Wawasan
Nusantara
a. Wadah
(contour)
b. Isi
c. Tata
Laku (Conduct)
3. Hakikat Wawasan Nusantara
Hakikat
wawasan nusantara ialah “Keutuhan Nusantara atau Nasional”, dalam pengertian :
cara pandang yang selalu utuh menyeluruh dalam lingkup Nusantara dan demi
kepentingan Nasional.
D.
Implementasi
Wawasan Nusantara
Sebagai
cara pandang dan visi nasional, Wawasan Nusantara harus dijadikan arahan,
pedoman, acuan dan tuntutan bagi setiap individu bangsa Indonesia. Oleh karena
itu, implementasi atau penerapannya harus tercermin pada pola piker, sikap dan
tindakan yang senantiasa mendahulukan kepentingan bangsa dan Negara. Dengan
kata lain, Wawasan Nusantara menjadi pola yang mendasari cara berpikir,
bersikap dan bertindak dalam menghadapi berbagai permasalahan nasional.
Komentar
Posting Komentar