RESUME
PENGARUH
SISTEM PERPAJAKAN TERHADAP KEPUTUSAN INVESTASI PROYEK PANASBUMI
Abstraksi
Pembangunan
berbasis energi yang tidak ramah lingkungan menimbulkan emisi gas
rumah kaca, yang menjadi salah satu penyebab pemanasan global dan
perubahan iklim, yang sangat mengganggu lingkungan kehidupan manusia
di bumi. Untuk mencegah kerusakan bumi yang semakin parah,
negara-negara maju menganjurkan penghematan energi dan peningkatan
pemanfaatan energi terbarukan melalui sustainable
development;
dan yang terakhir melalui clean
development mechanism yang
diusulkan oleh Protokol Kyoto.
Indonesia
sebagai salah satu negara yang memiliki cadangan panasbumi yang
terbesar di dunia memiliki peluang yang besar untuk mengurangi emisi
gas rumah kaca, namun ironisnya pemanfaatan sumber daya panasbumi
(untuk pembangkitan tenaga listrik) baru mencapai 5% dari total
supply yang
ada. Berbagai upaya perlu dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk
mendorong pengusahaan sumber daya panasbumi secara optimal di masa
mendatang.
Salah
satu faktor yang cukup strategis untuk mendorong pengusahaan sumber
daya panasbumi adalah melalui sistem perpajakan. Memang harus diakui
bahwa pemberian berbagai insentif perpajakan panasbumi dapat
menurunkan penerimaan Pemerintah dari pajak panasbumi, namun harus
dipertimbangkan pula manfaat yang lebih besar, yaitu adanya penurunan
harga listrik panasbumi dan multiplier
effect yang
ditimbulkannya (bertumbuh kembangnya industri-industri baru karena
meningkatnya penyedian tenaga listrik) yang pada gilirannya dapat
meningkatkan penerimaan Pemerintah dari sektor pajak. Dalam paper ini
dilihat pengaruh dari perubahan peraturan (sistem) perpajakan
terhadap keputusan investasi proyek panasbumi, khususnya evaluasi
terhadap Keputusan Menteri Keuangan No. 746/KMK.012/1981 dan
Keputusan Menteri Keuangan No. 766/KMK.04/1992.
PENDAHULUAN
Menurut
beberapa pemberitaan yang sering dimuat dalam berbagai media cetak
dan elektronik dikabarkan bahwa Indonesia pada saat ini sedang
menghadapi krisis tenaga listrik yang serius. Pertumbuhan rata-rata
kebutuhan tenaga listrik di Indonesia dalam kurun waktu 5 tahun
mendatang (sejak tahun 2000) diperkirakan akan mencapai 8,9% per
tahun, sehingga setiap tahun diperlukan tambahan daya terpasang
pembangkit listrik sekitar 2000 MW, yang memerlukan dana investasi
sekitar US$ 1,2 s/d 2 milyar per tahun (belum termasuk biaya
investasi untuk jaringan transmisi, distribusi dan perlengkapan
kelistrikan lainnya).
PT.
PLN (PERSERO) sebagai salah satu BUMN yang memiliki kekuatan monopoli
dalam bidang ketenagalistrikan, jelas tidak mungkin menanggung beban
biaya investasi yang demikian besar tersebut. Untuk mengatasi hal
tersebut, peranan pengusaha listrik swasta (Independent
Power Producer, IPP)
dalam penyediaan tenaga listrik mutlak diperlukan. Namun ada beberapa
faktor yang menyebabkan kurang menariknya investasi di bidang
ketenaga-listrikan di Indonesia pada saat ini, diantaranya adalah
country
risk yang
masih tinggi dan adanya kesenjangan antara “harga keekonomian”
tenaga listrik (sekitar US$ cent 7 per kWh) dan “daya beli” PLN
(sekitar US$ cent 4.5 per kWh). Kesenjangan harga ini tidak terlepas
dari adanya kenyataan bahwa PLN harus membayar tenaga listrik yang
dibeli dari IPP dengan US$, tetapi harus menjualnya kepada masyarakat
dalam rupiah.
Salah
satu sumber daya energi yang digunakan untuk membangkitkan tenaga
listrik adalah panasbumi, yang merupakan sumber daya energi
terbarukan yang ramah lingkungan dan dapat mendukung pembangunan
berkelanjutan (sustainable
development).
Indonesia memiliki cadangan panas-bumi yang terbesar di dunia
(sekitar 16.000 MW), namun yang telah dimanfaatkan untuk pembangkitan
tenaga listrik baru mencapai sekitar 5%. Salah satu faktor penyebab
kurang berkembangnya investasi di bidang panasbumi diantaranya adalah
harga tenaga listrik yang dinilai oleh para investor kurang menarik.
Dari sudut pandang investor panasbumi, harga tenaga listrik harus
dapat menghasilkan tingkat pengembalian yang menarik sesuai dengan
risiko bisnis yang tinggi (khususnya di sektor hulu).
LANDASAN
TEORI
Model
Studi Kelayakan Investasi Proyek Panasbumi
Keputusan
investasi proyek panasbumi merupakan keputusan investasi yang sangat
strategis, karena proyek panasbumi memerlukan “waktu pembangunan
yang lama” (multi
years project),
melibatkan dana yang besar, menggunakan teknologi yang canggih dan
menghadapi risiko yang tinggi (terutama pada kegiatan hulu, khususnya
pada tahap eksplorasi). Untuk menghindari kegagalan yang tidak
diharapkan, setiap keputusan investasi harus didukung dengan suatu
studi kelayakan proyek, yang terdiri dari identifikasi proyek,
analisis pasar (market
analysis)
dan analisis tekno-ekonomi yang terdiri dari beberapa tahapan sebagai
berikut:
a.
Penyusunan
Model Reservoir Panas-bumi
Tahapan
ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai karakteristik dan
kedalaman reservoir panasbumi serta potensi sumber daya panasbumi,
yang sangat diperlukan untuk menentukan lokasi pemboran sumur-sumur
eksplorasi.
b.
Perencanaan
dan Penjadualan Proyek
Tahapan
ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai ruang lingkup
proyek dan jadwal kegiatan proyek.
c.
Estimasi
Biaya
Tahapan
ini dilakukan untuk mendapat-kan gambaran mengenai total biaya
investasi proyek panasbumi selama masa preproduksi, termasuk IDC
(Interest
During Construction)
apabila proyek menggunakan debt
financing.
d.
Analisis
Cash
Flow
Tahapan
ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai proyeksi arus kas
proyek sejak proyek dimulai sampai dengan berakhirnya masa produksi.
e.
Penilaian
Kelayakan Proyek
Penilaian
kelayakan proyek dilakukan dengan menggunakan profitability
indicators.
METODE
PENELITIAN
Sistem
Perpajakan Panasbumi
Sampai
saat ini di Indonesia sudah dikenal dua sistem perpajakan panasbumi,
yaitu berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 746/KMK.012 /1981
tahun 1981 (SP1) dan Keputusan Menteri Keuangan No. 766/KMK.04 /1992
tahun 1992 (SP2) dengan perbedaan sebagai berikut :
SP1
SP2
Tarif
Pajak
46% 34%
Masa
depresiasi
6 tahun 7 tahun
Tarif
depresiasi
12.5% 25%
Metode
depresiasi
Switching
Declining Balance
Investment
Tax Credit
5%
per tahun Tidak ada
Profitability
Indicators
Keputusan
investasi adalah suatu keputusan yang berkaitan dengan pengadaan
aktiva tetap pada masa sekarang untuk memperoleh serangkaian
keuntungan dalam jangka panjang di masa yang akan datang, yang
melibatkan penggunaan sumber daya dan dana yang besar yang dapat
menimbulkan implikasi jangka panjang dimasa yang akan datang. Oleh
karena ada kesenjangan antara masa sekarang dan masa yang akan
datang, maka dalam menilai kelayakan usulan investasi diperlukan
suatu indikator yang dapat menjembatani perbedaan antara nilai uang
pada masa yang akan datang dengan nilai uang pada masa sekarang, yang
disebut Profitability Indicators, yang berbasis pada present value of
money.
Net
Present Value (NPV)
NPV
adalah jumlah dari rangkaian present value of cash flow mulai dari
awal proyek sampai dengan akhir proyek Kriteria
penilaian kelayakan usulan proyek berdasarkan NPV :
􀂾 Jika
NPV > 0, maka usulan proyek layak untuk dilaksanakan (feasible).
􀂾 Jika
NPV < 0, maka usulan proyek tidak layak untuk dilaksanakan.
Internal
Rate of Return (IRR)
IRR
adalah discount rate yang menghasilkan NPV sama dengan nol.
0)1(0=+Σ=ntttIRRCF
(3)
Kriteria
penilaian kelayakan usulan proyek berdasarkan IRR :
􀂾 Jika
IRR > required rate of return, maka usulan proyek layak untuk
dilaksanakan (feasible).
􀂾 Jika
IRR < required rate of return, maka usulan proyek tidak layak
untuk dilaksanakan.
PEMBAHASAN
Pro
dan Kontra Antara NPV dan IRR
Pada
umumnya pengambilan keputusan investasi berdasarkan NPV dan IRR akan
memberikan hasil yang sama, artinya “apabila suatu usulan investasi
dinilai layak berdasarkan NPV, maka usulan investasi tersebut juga
dinilai layak berdasarkan IRR”. Namun demikian, menurut kalangan
akademisi, NPV dianggap lebih unggul dibandingkan IRR, karena NPV
dapat mengatasi fenomena multiple IRR dan conflict ranking projects,
sedangkan IRR tidak dapat mengatasi fenomena tersebut. Meskipun
demikian, NPV juga memiliki kelemahan, yaitu NPV tidak memiliki
safety margin (sedangkan IRR memiliki safety margin) dan NPV kalah
populer dibandingkan dengan IRR (para investor pada umumnya lebih
tertarik menggunakan IRR, karena IRR dapat segera dibandingkan dengan
cost of capital). Di samping itu, dengan ditemukannya metode Modified
IRR (MIRR), MIRR juga dapat digunakan untuk mengatasi fenomena
multiple IRR dan conflict ranking projects, sehingga issue
tradisional yang mengunggulkan NPV tidak relevan lagi.
Payback
Period (PBP)
Payback
period adalah waktu yang diperlukan untuk memperoleh kembali seluruh
biaya dan kewajiban yang telah dikeluarkan dalam suatu proyek.
Meskipun
PBP tidak mencerminkan Profitability
Indicators suatu
usulan investasi dan metode perhitungannya tidak memper-timbangkan
present
value of money,
namun PBP sering digunakan untuk melengkapi indikator kelayakan
usulan Iinvestasi, karena PBP dapat mencerminkan likuiditas suatu
usulan investasi dan secara rule
of thumb dapat
digunakan untuk “menebak” IRR
adalah
PBPIRR1
Gambaran
Umum Proyek Panasbumi XYZ Dan Asumsi
Karakteristik
Reservoir Panasbumi
Proyek
panasbumi XYZ adalah proyek pengembangan lapangan panasbumi dan
pembangunan PLTP (total proyek) yang dilakukan di area prospek
panasbumi XYZ yang memiliki karakteristik reservoir panasbumi sebagai
berikut :
􀂾 Temperatur
reservoir : 2500C
􀂾 Tekanan
reservoir : 45 bar
􀂾 Permeabilitas
: 12 mD
􀂾 Porositas
: 10%
􀂾 Jenis
fluida panasbumi : Uap basah (kandungan air 40%)
􀂾 Kandungan
gas : 1.5%
􀂾 Kedalaman
reservoir : 1500 m
􀂾 Potensi
sumber daya panasbumi : 150 MW x 30 tahun.
Ruang
Lingkup Proyek
Ruang
lingkup proyek panasbumi XYZ terdiri dari ruang lingkup pengembangan
lapangan panasbumi (sektor hulu) dan pembangunan PLTP (sektor hilir).
Penyusunan ruang lingkup sektor hulu baru dapat dilakukan setelah ada
model reservoir dan prospek panasbumi mengindikasikan adanya cadangan
panasbumi yang komersiil, sedangkan penyusunan ruang lingkup sektor
hilir baru dapat dilakukan secara lebih akurat apabila pengembangan
lapangan panasbumi sudah menunjukkan tanda-tanda mampu memasok energi
panasbumi sesuai dengan kapasitas terpasang PLTP.
Jadwal
Kegiatan Proyek
Jadwal
kegiatan proyek baru dapat disusun setelah dipunyai ruang lingkup
proyek, yaitu suatu diagram balok datar (bar
chart)
yang menggambarkan hubungan antar kegiatan proyek dengan waktu
pelaksanaan (duration)
kegiatan-kegiatan tersebut.
Estimasi
Biaya Proyek
Biaya
proyek terdiri dari biaya investasi (biaya pre produksi) dan biaya
operasi (biaya pada masa produksi). Dalam menyusun estimasi biaya
proyek panasbumi, seorang cost
estimator pada
umumnya belum memiliki data yang akurat tentang aspek teknis
(khususnya yang berkaitan dengan ruang lingkup proyek hulu) dan aspek
keuangan (yang berkaitan dengan unit
cost).
Oleh karena itu, dalam menentukan estimasi biaya satuan investasi
kita harus mengacu pada historical
of costs data dari
proyek yang “sejenis”. Perlu diingat bahwa biaya investasi proyek
panasbumi (khususnya proyek hulu) sifatnya site
specific,
diantaranya sangat tergantung pada karakteristik reservoir panasbumi,
letak lokasi area panasbumi dan faktor kesulitan dipermukaan ataupun
dibawah permukaan bumi. Oleh karena itu, proyek panasbumi yang
memiliki ukuran proyek yang sama belum tentu memiliki biaya investasi
yang sama.
Hasil
dan Diskusi
Proyeksi
Cash
Flow
Proyeksi
cash
flow disusun
mulai dari masa pre produksi (tahun 1 s/d tahun 5) sampai dengan
berakhirnya masa produksi (tahun 6 s/d tahun 35) dengan menggunakan
rumus
Cash
Inflow dan
Cash
Outflow.
Penilaian
Kelayakan Proyek
Dengan
menggunakan sistem perpajakan SP1 dan SP2, serta discount
rates 15%
(low
return),
17% (medium
return)
dan 20% (high
return),
terlihat bahwa:
a.
Pada Harga Listrik Panasbumi US$ 45 per MWh
􀂾 Proyek
panasbumi tidak feasible,
karena menghasilkan NPV (dihitung dengan menggunakan Rumus
1)
< 0 dan IRR
(dihitung
dengan menggunakan Rumus
3)
< low
return.
􀂾 PBP
proyek panasbumi (dihitung dengan menggunakan Rumus
4)
relatif cepat, karena tidak lebih lama dari 7 tahun setelah operasi
komersial.
b.
Pada Harga Listrik Panasbumi US$ 70 per MWh
􀂾 Jika
menggunakan SP1, proyek panasbumi akan feasible
jika
meng-gunakan discount
rate 15%,
tetapi tidak feasible
jika
menggunakan discount
rate di
atas 16,30%.
􀂾 Jika
menggunakan SP2, proyek panasbumi akan feasible
jika
meng-gunakan discount
rate tidak
lebih dari 17,17%.
Harga
Listrik Panasbumi
Harga
listrik panasbumi adalah sekitar US$ 63,49 per MWh (low
return),
US$ 74,05 per MWh (medium
return)
dan US$ 88,58 per MWh (high
return)
berdasarkan SP1, sekitar US$ 60,79 per MWh (low
return),
US$ 69,23 per MWh (medium
return)
dan US$ 82,92 per MWh (high
return)
berdasarkan SP2 dan sekitar US$ 58,90 per MWh (low
return),
US$ 66,95 per MWh (medium
return)
dan US$ 80,84 per MWh (high
return)
berdasarkan SP5. Dari hasil tersebut terlihat bahwa :
a.
Harga listrik panasbumi yang paling murah adalah harga listrik
berdasarkan sistem perpajakan SP5, sedangkan yang paling mahal adalah
harga listrik berdasarkan sistem perpajakan yang lama.
b.
Apabila investor menginginkan minimum IRR
sebesar
15% (low
return),
maka harga listrik panasbumi tidak akan feasible.
c.
Apabila ceiling
price yang
disetujui pembeli adalah sebesar US$ 70 per MWh, maka IRR
sebesar
20% (high
return)
tidak akan tercapai.
d.
Ceiling
price sebesar
US$ 70 per MWh tercapai diatas low
return (SP1)
dan di bawah high
return (SP2
dan SP5).
IRR
Proyek
Panasbumi Dikaitkan dengan HPP PT. PLN (PERSERO)
Dengan
mempertimbangkan Harga Pokok Penjualan (HPP) PT. PLN (PERSERO) yang
menjadi acuan TDL tahun 2003 adalah Rp. 667,- per kWh dan nilai tukar
US$ sebesar Rp.8500,- per US$ asumsi harga listrik panasbumi adalah
sebesar 70%, 80% dan 90% dari HPP PT. PLN (PERSERO), maka dari Tabel
6 terlihat bahwa pengusaha panasbumi akan memperoleh:
- IRR sebesar 12,94% (peraturan lama), 13,51% (peraturan baru) dan 13,94% (SP5) apabila harga listrik panasbumi adalah sebesar US$ 54,93 per MWh (70% dari HPP).
- IRR sebesar 14.83% (peraturan lama), 15,48% (peraturan baru) dan 15,98% (SP5) apabila harga listrik panasbumi adalah sebesar US$ 62,78 per MWh (80% dari HPP).
- IRR sebesar 16.41% (peraturan lama), 17,32% (peraturan baru) dan 17,76% (SP5) apabila harga listrik panasbumi adalah sebesar US$ 70,62 per MWh (90% dari HPP).
a.
Apabila harga listrik panasbumi sebesar 70% dari HPP, maka investor
panasbumi tidak akan tertarik, karena akan menghasilkan IRR
dibawah
low
return.
b.
Apabila harga listrik panasbumi sebesar 80% dari HPP, maka peraturan
lama menjadi tidak menarik, karena akan menghasilkan IRR
dibawah
low
return,
sedangkan apabila menggu-nakan peraturan baru dan SP5, maka investor
panas bumi akan memperoleh IRR
diatas
low
return.
c.
Apabila harga listrik panasbumi sebesar 90% dari HPP, maka investor
panasbumi akan memperoleh IRR
dibawah
medium
return apabila
menggunakan peraturan lama, akan tetapi akan memperoleh IRR
diatas
medium
return apabila
meng-gunakan peraturan baru dan SP5.
PENUTUP
Kesimpulan
􀂙 Meskipun
peraturan perpajakan yang baru (SP2) menawarkan insentif berupa
penurunan tarif pajak, namun tidak dapat memperbaiki keekonomian
proyek secara optimal, karena beberapa insentif perpajakan pada
peraturan yang lama (SP1) seperti metode depresiasi dan investment
allowance diganti
atau dihilangkan.
􀂙 Investor
panasbumi tidak akan pernah memperoleh IRR
high return,
apabila ceiling
price yang
disepakati adalah US$ 70 per MWh.
􀂙 Floor
price sebesar
US$ 45 per MWh tidak akan menarik bagi investor panasbumi, karena
akan memperoleh IRR
dibawah
low
return.
􀂙 SP5
adalah sistem perpajakan yang dapat memberikan hasil yang optimal
bagi pengusaha panasbumi dari USA yang menggunakan tarif pajak
sebesar 34%.
􀂙 Karena
PLN membeli listrik panas-bumi dari pengusaha swasta asing dalam US$,
sedangkan HPP dan TDL ditetapkan dalam Rupiah, maka daya beli PLN
terhadap listrik panasbumi yang dihasilkan oleh pengusaha swasta
asing sangat tergantung pada nilai tukar US$ terhadap Rupiah.
Saran
􀂙 Agar
harga listrik dapat terjangkau oleh “rakyat banyak”, maka
Pemerintah se-baiknya menetapkan IRR
maksimum
proyek panasbumi (dalam constant
US$
costs),
misalnya 17% untuk total
project dan
15% untuk down-stream
project.
􀂙 Untuk
“menekan” harga listrik panas-bumi dapat dilakukan beberapa cara
sebagai berikut :
􀂾 Menggunakan
sumur produksi big
hole yang
meskipun lebih mahal dari sumur produksi konvensional, namun memiliki
kemampuan produksi yang jauh lebih tinggi, sehingga dapat mengurangi
jumlah sumur produksi,
Akmal,
Firdaus dan Djuwarno, (2002), Peluang dan Tantangan Investasi Bisnis
Pembangkitan Tenaga Lis-trik, Pertemuan Tahunan Penge-lolaan Energi
Nasional, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta.
Brigham,
E.F. and Houston, J.F., (1998, Eight Edition): Fundamentals of
Financial Management.
Clifton,
David S. Jr. And Fiffe, David E., (1977): Project
Feasibility Analysis,
A
Guide To Profitable New Ventures,
A Wiley Interscience Publication, New York.
Danar,
Agus (2003): "Model Keputusan Investasi dan Analisis
Sensitivitas Proyek Panasbumi di Indonesia", Tesis Program
Magister Mana-jemen, Universitas Borobudur, Jakarta.
Danar,
Agus (2002): Upaya Mendorong Pengusahaan Sumber daya Panas-bumi
Melalui Fasilitas Perpajakan, Asosiasi Panasbumi Indonesia, Jakarta.
Danar,
Agus (2001): Evaluasi Keekonomian Proyek Panasbumi, Kursus Singkat,
Pertemuan Ilmiah Tahunan V Asosiasi Panasbumi Indonesia, Yogyakarta.
Danar,
Agus (1996): Peraturan
Keuangan dan Perpajakan Panasbumi di Indonesia,
Amoseas Indonesia Inc., Jakarta.
Danar,
Agus; dan Pudyastuti, Kris (1995): Economic
Evaluation of Geothermal Project Based on the Old and New Geothermal
Tax Regulation,
The 17th New Zealand Geothermal Workshop, University of Auckland,
Auckland.
Danar,
Agus dan Suryadi, Dicky, (1992), Evaluasi Keekonomian Total Proyek
Panasbumi, Seminar Energi Nasional IV, Komite Nasional Indonesia –
World Energy Council, Jakarta.
Danar,
Agus, (1991), An
Economic Comparison Between Conventional and Modular Geothermal
Develop-ment Models,
The 13th
New
Zealand Geothermal Workshop, University of Auckland, Auckland.
Danar,
Agus (1984): Investment
Decision Dalam
Bidang Eksplorasi dan Pengembangan Minyak Bumi di Indonesia
Berdasarkan Kontrak Production
Sharing,
Skripsi Untuk Memenuhi Sebagian Dari Syarat-Syarat Guna Mencapai
Gelar Sarjana Ekonomi, Extension Fakultas Ekonomi, Universitas
Indonesia, Jakarta.
Electroconsult,
(1992): Geothermal
Steam Pricing Study Indonesia,
Asian Development Bank, Manila.
Geothermal
Energy New Zealand Ltd, (1988), Seminar Notes
on Engineering Economics for Geothermal Projects,
Jakarta.
Levy,
H, and Samat, M, (1978), Capital
Investment and Financial Decisions,
Prentice Hall International, Inc.
Sudarman,
Sayogi; and Danar, Agus (1992): Development
of Geothermal Energy in Indonesia,
PERTAMINA, Jakarta.
Takhyan,
Iin A.; Yusgiantoro, Purnomo; and Danar, Agus, (1990): Economic
Aspects of Geothermal Development in Indonesia,
The 12th New Zealand Geothermal Workshop, University of Auckland,
Auckland.
The
World Bank and USAID; (1994): Submission
and Evaluation of Proposals for Private Power Generation Projects in
Developing Countries,
The World Bank and USAID, Washington DC.
Komentar
Posting Komentar