Banyak hal yang bisa menjadi pertimbangan penting bagi seorang pemodal untuk berinvestasi di obligasi. Salah satu faktor yang penting adalah yield. Secara umum, yield berarti perolehan imbal hasil (return) dari investasi obligasi dalam jangka waktu setahun. Karenanya, yield dalam obligasi kadang kala juga setara dengan tingkat bunga obligasi itu dalam jangka 12 bulan.
Sejak kita belajar tentang obligasi, kita selalu membahas bahwa investor membeli obligasi untuk disimpan hingga jatuh tempo. Namun, sebenarnya, obligasi tidak harus dikempit dan ditunggui sampai jatuh tempo.
Asal tahu saja, setiap saat investor bisa menjual obligasinya di pasar. Sebab, harga obligasi juga bisa berfluktuasi di pasar. Tapi, sebelum membahas soal harga, terlebih dahulu kita harus memahami tentang konsep yield.
Yield adalah angka yang menunjukkan tingkat imbal hasil atau keuntungan yang diperoleh investor dari obligasi.
Yield adalah angka yang menunjukkan tingkat imbal hasil atau keuntungan yang diperoleh investor dari obligasi.
Cara yang paling sederhana untuk menghitung yield adalah dengan rumus: nilai bunga dibagi dengan harga obligasinya. Karenanya, jika Anda membeli suatu obligasi di harga parinya, yield obligasi itu setara dengan tingkat bunganya. Nah, begitu harga obligasi itu berubah, yield-nya juga akan berubah.
Sebagai contohnya, jika Anda membeli obligasi berbunga 10% pada nilai parinya di Rp 100 miliar (bunga Rp 10 miliar), berarti yield obligasi itu 10% (Rp 10 miliar/Rp 100 miliar).
Tapi, jika harga obligasi itu turun menjadi Rp 80 miliar, yield-nya akan naik menjadi 12,5% (Rp 10 miliar/Rp 80 miliar). Sebaliknya, jika harga obligasi itu menjadi Rp 120 miliar, yield-nya menjadi 8,33% (Rp 10 miliar/Rp 120 miliar).
Kesimpulannya adalah: yield selalu berbanding terbalik dengan harga obligasi. Maksudnya, bila harga turun, yield obligasi akan naik. Demikian pula sebaliknya.?
Yield obligasi juga sangat bergantung pada harga obligasi tersebut. Sementara, harga obligasi sendiri sangat bergantung pada banyak faktor. Selain faktor permintaan dan penawaran, kondisi makro ekonomi dan tren suku bunga juga sangat mempengaruhi pergerakan harga obligasi di pasar.
Untuk memahami lebih mendalam tentang hubungan imbal hasil atau yield dengan harga obligasi, investor juga mesti memahami konsep harga obligasi itu sendiri.
Di pasar, harga obligasi dinyatakan dalam persentase terhadap nilai parinya. Pada saat awal penerbitan harga obligasi biasanya adalah sebesar 100. Artinya, untuk membeli obligasi itu investor harus membayar sebesar 100% dari nilai parinya.
Seiring mekanisme pasar, harga obligasi itu bisa naik atau turun. Taruh kata harga obligasi itu turun menjadi 95. Ini artinya, untuk membeli obligasi senilai Rp 100 miliar, investor cukup membayar Rp 95 miliar atau 95% dari nilai parinya.
Nah, pergerakan harga obligasi sendiri bergantung pada banyak faktor. Sesuai rumus pasar, semakin banyak permintaannya dan semakin sedikit pasokannya, harga suatu obligasi akan meningkat.
Selain itu, kondisi makro ekonomi dan tren suku bunga domestik dan luar negeri juga sangat mempengaruhi pergerakan harga obligasi.
Khusus berhubungan dengan bunga; jika suku bunga cenderung turun, harga obligasi akan cenderung naik. Ini terjadi karena investor cenderung memburu obligasi lama yang masih menawarkan bunga tinggi. Nah, investor bersedia memperoleh yield yang rendah untuk mengejar obligasi itu. Karenanya, di saat harga naik, yield obligasi justru turun.
Jika suku bunga naik, harga obligasi yang beredar di pasar justru akan turun. Ini terjadi karena investor menginginkan imbal hasil (yield) yang tinggi dari obligasi yang ada di pasar untuk mengimbangi kenaikan bunga. Nah, yield yang tinggi ini hanya bisa tercapai jika investor membeli obligasi itu di harga yang rendah. ?
Selain konsep imbal hasil atau yield yang sederhana ada pula konsep yield to maturity (YTM) yang lebih rumit.
Tapi, konsep YTM lebih laku karena menggambarkan yield obligasi secara lengkap. Selain dari bunga obligasi, YTM juga menghitung potensi keuntungan atau kerugian dari pergerakan harga obligasi.
Kita telah membahas bahwa imbal hasil atau yield obligasi yang sederhana bisa dihitung dengan membagi total bunga dalam setahun dengan harga obligasi tersebut. Yield yang dihasilkan dengan rumus seperti ini sering disebut sebagai current yield karena hanya berdasarkan pada harga pasar obligasi saat ini.
Namun, sekali lagi, ini adalah rumus imbal hasil yang sederhana. Masih ada lagi yield yang rumus perhitungannya lebih rumit, yaitu yield to maturity (YTM). Nah, jika berbicara tentang yield, para investor dan analis biasanya lebih mengacu pada YTM ini.
YTM adalah imbal hasil yang bisa diberikan sebuah obligasi dengan asumsi bahwa investor akan tetap mengempit obligasi itu hingga saat jatuh tempo. Selain itu ada sederet asumsi yang lainnya. Yaitu bahwa penerbit obligasi membayarkan semua kupon obligasi itu dan investor menginvestasikan kembali pendapatan bunga itu dengan tingkat keuntungan yang sama dengan current yield.
Tak cuma itu, YTM ini juga mencakup potensi keuntungan dari kenaikan harga obligasi atau capital gain ( jika Anda membeli obligasi itu di harga diskon) maupun kerugian akibat penurunan harga obligasi (jika Anda membeli obligasi di harga tinggi atau premium).
Tak cuma itu, YTM ini juga mencakup potensi keuntungan dari kenaikan harga obligasi atau capital gain ( jika Anda membeli obligasi itu di harga diskon) maupun kerugian akibat penurunan harga obligasi (jika Anda membeli obligasi di harga tinggi atau premium).
Singkat kata, YTM menghitung semua keuntungan obligasi jika ia dipegang hingga jatuh tempo. Namun, YTM biasanya ditampilkan dalam tingkat keuntungan efektif dalam satu tahun.
Terdengar rumit? Karena itulah, biasanya investor dan analis menghitung YTM dengan menggunakan sistem penghitung yang sudah terpasang di komputer atau kalkulator. ?
Komentar
Posting Komentar