A. Manajemen Likuiditas Bank
Likuiditas pada umumnya didefinisikan
sebagai kepemilikan sumber dana yang memadai untuk memenuhi seluruh kebutuhan
dan kewajiban yang akan jatuh tempo. Dengan kata lain, likuiditas adalah
kemampuan suatu perusahaan untuk memenuhi semua kewajibannya pada saat ditagih.
Menjaga likuiditas penting bagi sebuah
perusahaan, baik perusahaan jasa perbankan maupun perusahaan industri, karena
likuiditas dapat mempengaruhi tingkat kredibilitas perusahaan bersangkutan.
Sebagaimana diketahui perbankan adalah
lembaga yang bertugas sebagai perantara antara pemilik dana dan pemakai dana
sehingga bank akan berperan untuk sebagai pengganti pemilik dan pemakai dana.
Peran sebagai pemilik dana adalah berkewajiban untuk membayar ke pemilik dana apabila
pemakai dana tidak melunas kewajibannya dan peran sebagai pemakai dana adalah
pemilik dana menarik dananya sebelum jatuh tempo atau sebelum waktu yang
ditentukan. Dengan kata lain sebagai lembaga perbankan di satu sisi bank harus
menjaga penarikan dana dari sumber dana yang dititipkannya seperti giro,
deposito, tabungan dan sebagainya. Sementara di sisi lain bank harus menjaga
penarikan permintaan dana seperti kredit yang diberikan, pembelian peralatan
dan sebagainya.
Menjaga dari kemungkinan kemungkinan
tersebut maka bank harus mempunyai asset yang likuid sebanyak kewajibannya.
Namun karena asset yang likuid mempunyai karakterisitik tidak menghasilkan
bunga, maka apabila bank mempunyai asset likuid yang besar jumlahnya
profitabiltas dapat terganggu.
Suatu bank dinilai telah memiliki
tingkat likuiditas yang cukup apabila bank tersebut setiap saat dapat memenuhi
kewajiban jangka pendeknya yang segera (current
obligations) terhadap pihak ketiga atau pihak-pihak lain di luar bank yang
antara lain meliputi
a. Pemenuhan
kewajibannya berupa penempatan dana giro pada bank sentral sebesar ketentuan
mengenai GWM yaitu minimum 5% dari dana
pihak ketiga yang tersimpan pada bank dan berupa pemenuhan komitmen serta
kewajiban lainnya pada Pasar Uang antar Bank.
b. Pemenuhan
kewajiban atas penarikan dana dana pihak ketiga atau dana masyarakat yaitu
berupa penarikan giro, tabungan dan deposito yang telah jatuh waktu dan
kewajiban bank lainnya yang berakar dari sisi pasiva neraca bank.
c. Pemenuhan
kewajiban terhadap penarikan pinjaman yang telah disetujui bank atas penarikan
kredit dan sisa kelonggaran tarik pinjaman (disposable credit) oleh nasabah
serta pemenuhan kewajiban bank lainnya yang berakar dari sisi aktiva neraca
bank.
Dalam manajemen likuiditas tingkat likuiditas dan
rentabilitas bank tidak selalu berjalan searah. Saat tingkat likuiditas tinggi,
tingkat rentabilitas belum tentu tinggi pula.
Tetapi sebaliknya pada tingkat
likuiditas rendah kita akan mampu mencapai tingkat rentabilitas tinggi, karena
likuiditas yang berlebihan dapat menekan rentabilitas perusahaan, sementara
likuiditas yang terlalu kecil dapat meningkatkan resiko likuiditas bank.
Batasan kesempatan trade off antara
likuiditas dan rentabilitas adalah sebagai berikut. Pada kondisi pasar tertentu
sebuah bank tidak akan dapat memenuhi seluruh sasaran asset liability
management sekaligus. Hal ini mengakibatkan diperlukannya trade off di antara
sasaran-sasaran tersebut dengan cara: pendapatan
dikorbankan untuk menurunkan resiko suku bunga dan risiko likuiditas. Risiko
likuiditas meningkat karena gap repricing
diubah guna memanfaatkan yield curve
sedangkan resiko suku bunga meningkat karena jumlah likuiditas yang ingin
dicapai semakin besar.
Pengendalian likuiditas ini terutama
ditujukan agar bank terhindar dari resiko pendanaan (funding risk) di mana bank tidak memiliki dan menguasai dana yang
cukup untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya tersebut dan terhindar dari risiko
tingkat suku bunga (interest rate risk).
Funding
risk adalah risiko kegagalan bank dalam
memprediksi dengan tepat kebutuhan dana bank yang diperlukan oleh para
nasabahnya dan bank tidak berhasil memonitor maturity people atas account pada sisi aktiva dan pasiva neraca
bank, yang mencerminkan potensi pasokan dan kebutuhan dana bank dalam memenuhi
kewajiban dan komitmennya sendiri, baik secara internal maupun terhadap pihak
eksternal. Sedangkan interst rate risk
dapat terjadi karena unsur unsur account pada sisi pasiva dan aktiva neraca
bank memiliki tingkat suku bunga, potensi nilai dan jangka waktu pencairan yang
berbeda –beda. Dari sini kelihatan bahwa yang dimaksud dengan risiko tingkat suku bunga adalah risiko yang ditimbulkan oleh terjadinya
perubahan atas tingkat suku bunga yang berpengaruh buruk terhadap pendapatan
dana atau pengeluaran biaya oleh bank. Dengan terjadinya risiko tingkat
suku bunga ini, bank dapat terpaksa memikul kerugian karena membayar
kewajibannya itu dengan mencairkan lebih cepat aset yang memiliki potensi nilai
atau yang memberiak potensi bunga yang
lebih tinggi di masa depan. Perlu diingat bahwa mencairkan aset atau tagihan
yang belum jatuh waktu akan terkan diskon dan sebaliknya penundaan atas pelunasan
kewajiban justru dapat terkena beban bungan tambahan yang lebih tinggi.
Oleh karena itu manajemen likuiditas diarahkan agar
bank dapat menghindari atau sedikitnya memperkecil kemungkina terjadinya risiko
likuiditas di mana bank tidak memiliki dana yang cukup. Maka untuk memenuhi
kewajibannya, bank harus mencari sumber pendanaan dengan membayar tingkat suku
bunga yang lebih tinggi di pasar uang atau melalui PUAB atau bank terpaksa
mencairkan sebagian assetnya dengan harga yang lebih rendah, sehingga dapat
menimbulkan kerugian bagi bank. Di samping itu terdapat pula efek negatif
lainnya apabila bank seringkali mengalami kesulitan likuiditas seperti itu.
Apabila bank dalam periode yang pendek, seringkali tercatat sebagai
net-borrower di PUAB atau seringkali mengalami “kalah kliring” dan bahkan bank
sentral pernah menghentukan keikutsertaannya dalam kliring, maka bank-bank
lainnya yang menjadi net lender akan
selalu menawarkan tingkat suku bunga pinjaman yang relatif lebih tinggi dari
rata-rata tingkat suku bunga PUAB. Jika hal itu diketahui oleh pihak lain di
luar perbankan , maka hal itu dapat memicu terjadinya rush berupa penarikan
dana dalam jumlah besar serta serentak dari para deposan bank yang dapat
menyebabkan bank makin mengalami kesulitan likuiditas dan rentabilitas yang
parah.
Resiko
kesulitan likuiditas sebagaimana digambarkan di atas dapat terjadi pula jika:
1. Bank
mengalami mismatch di mana
sumber-sumber pendanaan bank yang berjangka pendek telah ditempatkan pada
penanaman dana yang berjangka panjang. Gap di antara kedua maturity profile antara sumber sumber pendanaan dan penanaman dana
bank tersebut dapat memicu terjadinya kesulitan likuiditas bagi bank.
2. Demi
mengejar rentabilitas yang lebih tinggi , bank melakukan ekspansi pemberian
kredit yang terlalu ekspansif di mana besaran Loan to Deposit Ratio (LDR) nya telah melampaui ambang batas 110%.
Hal itulah yang merupakan benturan antara kepentingan bank dalam mengejar
tingkat rentabilitas yang tinggi (di mana karenanya bank dapat terhempas oleh
kesulitan likuiditas) dengan penjagaan likuiditas yang terlalu berhati-hati (di
mana karenanay pula bank hanya akan berhasil membukukan tingkat rentabilitas
yang lebih rendah)
3. Bank
dilanda berbagai rumor atau terkait dengan peristiwa buruk yang mempengaruhi
citranya di mata masyarakat atau karena publikasi kinerjanya yang sangat buruk
, yang menyebabkan terjadinya gelombang rush penarikan dana besar-besaran dalam
jangka waktu yang singkat oleh para deposan atau oleh para kreditur bank
lainnya.
Informasi
pendukung
Penjagaan tingkat likuiditas sangat
membutuhkan informasi pendukung yang perlu diperhatikan baik baik oleh ALCO
maupun oleh pemimpin Treasury Department.
Dalam hal ini ALCO berperan pentingg
karena ia harus menyediakan tingkat likuiditas (basic surplus, perkembangan reserves),
laporan bulanan dari perkiraan kebutuhan likuiditas di waktu mendatang tiga
bulan yang akan datang), kejadian – kejadian penting yang dinilai
mempengaruhi tingkat likuiditas,
tindakan-tindakan sekarang maupun di waktu masa mendatang, dan peraturan
peraturan serta perkiraan perubahannya di masa mendatang yang akan memengaruhi
perkembangan pasar uang dan likuiditas.
B. Likuiditas
Bank di Tengah Krisis Moneter dan Multidimensi
Sejak bulan Juli tahun 1997 (krisis
moneter), terjadi rush besar-besaran yang dilakukan oleh nasabah. Rush tersebut
terjadi akibat ketidakpercayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dalam mengendalikan
krisis moneter. Krisis moneter ini terjadi akibat jatuhnya nilai tukar rupiah
terhadap dollar amerika.
Untuk mengatasi jatuhnya nilai tukar
rupiah terhadap US$, Bank sentral telah melakukan sejumlah kebijakan yaitu :
·
Melepas band kurs
intervensi
·
Mengambangkan nialai
tukar rupiah tergantung pada kekuatan-kekuatan pasar uang
·
Mengeluarkan kebijakan
uang ketat atau money tight policy
*berikut
adalah beberapa kebijakan uang ketat yang dilakukan oleh bank sentral:
·
Menahan pengeluaran
anggaran belanja rutin pemerintah (dari sisi kebijakan fiskal)
·
Penghentian pembelian
SBPU (Surat Berharga Pasar Uang) oleh Bank Indonesia (dari sisi kebijakan
moneter)
·
Meningkatkan tingkat
suku bunga SBI sampai dua kali lipat
·
Mengalihkan deposito
berbagai BUMN, berbagai yayasan dana pension, dan lain lain menjadi SBI
Pada
saat krisis tersebut terjadi, beberapa bank mengalami mismatch likuiditas. Hal ini terjadi ditandai dengan adanya
pengamanan dana nasabah dari bank-bank yang dipandang lemah ke bank-bank yang
dianggap kuat pada saat terjadi krisis tersebut. Bank-bank yang lemah ini
mengalami kekurangan likuiditas saat terjadi penarikan dana nasabah secara
besar-besaran, maka dari itu bank-bank tersebut segera mencari dana pinjaman.
Dana tersebut mereka pinjam dari PUAB (Pasar Uang Antar Bank). Namun, bank-bank
yang menjadi net-lender menghentikan pasokan dananya dari PUAB, akibatnya
bank-bank yang menjadi net-borrower mulai menggunakan dana mereka sendiri yang
ada pada Bank Sentral
Dengan
berlanjutnya rush, saldo giro bank-bank pada Bank Sentral yang digunakan
bank-bank net-borrower untuk menutupi kebutuhan likuiditasnya menjadi semakin
menyusut. Penyusutan tersebut semula hanya terjadi pada saldo dana diatas batas
minimum GWM nya, namun akhirnya merembet sampai kepada dana GWM mereka, dimana
hal tersebut melanggar ketentuan GWM. Parahnya hal ini juga mengakibatkan
bank-bank mengalami saldo debet atau saldo negative atau overdraft. Hingga akhir agustus pada tahun tersebut tercatat sudah
51 bank umum yang melanggar ketentuan GWM dan terdapat 29 bank umum yang
mengalami saldo debet atau saldo negartif atau overdraft
Kesalahan
fatal yang telah dilakukan akibat adanya intervensi yang dilakukan terhadap
Bank Sentral pada saat itu adalah Pemerintah menerbitkan program penjaminan
pembayaran kewajiban terhadap bank-bank umum dan Bank tidak Sentral
menghentikan keikutsertaan bank-bank bersaldo debet pada kegiatan kliring
berikutnya.
Program
penjaminan pembayaran kewajiban yang diterbitkan oleh pemerintah bertujuan
untuk mencegah terjadinya systemic risk,
dimana itu merupakan suatu efek domino yang menyeret bank-bank yang sehat
kedalam kesulitan likuiditas yang parah. Namun, sayangnya program ini tidak
berjalan dengan efektif akibatnya malah menimbulkan sekandal Bank Bali dan
skandal BLBI
Menghentian
kegiatan kliring bagi bank-bank yang memiliki saldo debet juga merupakan hal
yang dilematis yang dihadapi Bank Sentral. Namun adanya fakta bahwa terdapat
beberapa bank yang bahkan jauh sebelum krisis tidak lagi solvable, diantara
bank-bank yang menikmati BLBI tersebut, pengucuran dana yang sedemikian besar
hanya sekadar mengisi ember yang bocor saja, hal ini merusak efek positif yang
diharapkan dari kebijakan uang ketat yang ditetapkan pemerintah.
Lepas
dari hal tersebut, ternyata masih ada beberapa bank umum yang berhasil keluar
dari krisis tersebut karena melaksanakan ALM nya dengan baik yaitu meliputi :
·
Bank-Bank Umum (Devisa
dan Non Devisa) dengan tingkat LDR normal (antara 85%-110%), yang dapat
mempertahankan posisinya sebagai net-lender
dalam PUAB dan tidak mengalami mis,atch likuiditas
·
Bank-bank Devisa yang
sekaligus pula membukukan NOP (Net Open Position) neraca yang square.
C. Kebutuhan dan Sumber
Dana Dana Untuk Pemenuhan Liquiditas Bank
Kebutuhan
Liquiditas Bank
Dalam
menjalankan kegiatan operasionalnya, bank memerlukan liquiditas guna memenuhi
berbagai jenis kebutuhan yang meliputi:
1. Keperluan
untuk memenuhi uang kas untuk kegiatan operasional bank sehari-hari, untuk
ditempatkan sebagai saldo minimum rekening operasional pada
bank-bankkoresponden sertasebagai GWM sesuai dengan ketentuan, pada Bank
Sentral. Untuk itu, bank dapat menggunakan dana yang ditempatkan sebagai
cadangan primer (primary reserves).
2. Kebutuhan
likuiditas jangka pendek (kurang dari setahun) yang meliputi keperluan untuk
melayani penarikan dana-dana dari masyarakat (penarikan sebagian saldo giro
melalui penarikan cheque atau bilyet
giro, deposito yang jatuh waktu serta penarikan simpanan atau tabungan dan
lain-lain), untuk memenuhi kredit jangka pendek lainnya. Untuk keperluan ini,
disamping dari pemasukan baru dana masyarakat (berupa penempatan atau
penambahan giro, deposito dan tabungan serta sumber-sumber dana masyarakat
lainnya), bank dapat menggunakan dana dari pencarian cadangan sekunder
(secondary reserves) yang ditempatkan dalam bentuk SBI, SBPU, sertifikat
deposito, commercial paper, dan lain-lain.
3. Kebutuhan
likuiditas musiman (cyclical). Kebutuhan likuiditas musiman ini dapat berupaa
kebutuhan jangka pendek (kurang dari setahun) atau berupa kebutuhan jangka menengah (kurang dari tiga tahun).
Kebutuhan musiman tersebut dapat terjadi karena adanya peristiwa tertentu yang
senantiasa berulang, misalnya terjadi penarikan dana oleh masyarakat pada
periode menjelang hari raya tertentu, menjelang musim liburan sekolah atau
menjelang akhir tahun. Kebutuhan
cyclical tersebut juga dapat terjadi akibat dari panen raya sesuatu komoditas
pertanian atau perkebunan, berupa panen raya hasil tanaman berumur panjang
tertentu pada suatu wilayah tertentu yang berulang dalam jangka panjang yaitu
berupa trend kebutuhan likuiditas
yang terkait langsung dengan kinerja perekonomian makro yang diindikasikan
melalui perubahan pada fundamental perekonomian.
Growth atau
pertumbuhan ekonomi memerlukan pasokan likuiditas yang cukup untuk membiayainya
dan karenanya lembaga perbankan secara keseluruhan harus mampu menyusun
kebutuhan likuiditas jangka panjang dalam mengantisipasi terjadinya pertumbuhan
ekonomi tersebut. Secara individual pun, masing-masing bank harus dapat
menyusun proyeksi perkiraan kebutuhan likuiditas jangka panjang dengan menyusun
perkiraan pertumbuhan aset bank. Tentu hal tersebut dikaitkan dengan kebuthan
layanan perbankan yang diperlukan oleh para nasabah potensialnya atau mungkin
digarap melalui inisiatif yang dilakukan oleh bank sendiri dalam memanfaatkan
potensi market yang tersedia baginya.
D.
Sumber
Dana untuk Memenuhi Kebutuhan Likuiditas
Ada berbagai sumber pendanaan yang dapat
dipergunakan oleh bank, guna memenuhi kebutuhan likuiditasnya, yaitu :
1.
Dana-dana dari
masyarakat berupa penempatan netto dari giro, deposito, tabungan dan lain-lain.
Penempatan neto (surplus antara penarika perpanjangan dan penempatan dana
baru)dari para depossan bank dan lain-lain ini merupakan potensi dari
pertumbuhan asset bank yang dapat ditempatkan pada aktiva produktif bank untuk
memperoleh net-spread interest.
2. Bagian
asset bank yang dapat dicairkan dan yang telah jatuh waktu pembayaran. Termasuk
dalam bagian ini adalah pelunasan kembali kredit dari nasabah dan pencairan
surat-surat berharga likuid yang telah jatuh waktu.
3. Penjualan
aset (tagihan) bank. Untuk memenuhi kebutuhan likuiditas yang tidak dapat lagi
dipenuhi oleh sumber-sumber pendanaan lainya yang likuid, bank dapat mencairkan
(apabila dianggap sangat mendesak dan sangat diperlukan) secondary reserves berupa SBI, SBPU, sertifikat deposito, commercial paper, dan lain-lain.
4.
Melakukan pinjaman dana
baru. Untuk ini bank dapat melakukan pinjaman berupa interbank call money (sering kali disebut call money), yaitu berupa pinjaman yang relatif berjangka waktu
pendek (singkat) dari bank lainya atau dalam bentuk penyediaan money market line sebagai potensi
pasokan dana siaga. Pinjaman ini biasa nya digunakan oleh suatu bank untuk
menutup saldo debet yang menyebabkanya kalah kliring atau untuk menutupi
kebutuhan dananya yang sangat mendesak. Pinjaman dana baru dapat pula dilakukan
dalam bentuk deposit on call yang
merupakan dana yang bersumber baik dari lembaga-lembaga keuangan maupun dari
pihak ketiga lainya yang penarikanya kembali hanya dapat dilakukan dengan
pemberitahuan sebelumnya. Dengan demikian, deposit
on call ini tidak memiliki waktu jatuh tempo tertentu selama si pemilik dana
belum memberitahukan waktu penarikanya kembali.
5.
Memanfaatkan faasilitas
pinjaman yang disediakan Bank Sentral sebagai bagian dari perananya sebagai lender of the last resort berupa
pemberian fasilitas diskonto, kredit likuiditas, dan lain-lain. Meskipun
jenisnya telah jauh berkurang dibandingkan ketika Bank Sentral belum merupakan
lembaga yang independen, masih ada beberapa fasilitas pinjaman yang dapat
dimanfaatkan oleh para perbankan dari Bank Sentral. Fasilitas itu dapat berupa
penjualan SBPU pada Bank Sentral, fasilitas diskonto repo atas SBI, dan
lain-lain. Repo atau repurchase agreement
adalah penjualan surat-surat berharga dengan perjanjian bahwa penjual akan
membeli kembali surat berharga tersebut sesuai dengan waktu yang diperjanjikan
dengan harga yang ditetapkan di muka.
Dalam kondisi normal dimana tidak
terdapat gejolak moneter dan tidak terdapat isu negative yang memperburuk
citra, bank dapat menghimpun dana secara normal pula, yaitu dengan
memrioritaskan urutan penghimpunan dana mulai dari butir satu hingga butir lima
diatas.
Namun, dalam keadaan yang
bergejolak dan terdesak dimana bank menghadapi kesulitan likuiditas temporer
yang berat, bank dapat mencari pendanaan untuk memenuhi kebutuhan likuiditasnya
itu mulai dari memanfaatkan sumber-sumber pendanaan butir ke lima, keempat,
ketiga, dan seterusnya hingga kondisi likuiditas bank kembali normal.
Hal itu sangat berbeda apabila bank
menghadapi permasalahan likuiditas yang sifatnya struktural, yang dalam
mengatasinya, bank perlu melakukan penyesuaian-penyesuaian struktural
sedemikian rupa, sehingga struktur pasiva bank berada dalam keadaan yang
seimbang dengan struktur aktivanya. Keseimbangan itu dapat dicapai bila bank
menerapkan beberapa prinsip dasar dari ALM secara konsisten dan
berkesinambungan sebagaimana dijelaskan dibawah ini.
E.
Mengamankan Posisi Likuiditas Jangka Pendek
Dalam
kegiatan opersional hariannya, bank harus senantiasa menjaga dan mengamankan
agar bank memenuhi ketentuan-ketentuan Bank Sentral tentang penjagaan
likuiditas harian serta dapat mendeteksi secara dini jika bank memerlukan
likuiditas jangka pendek. Hal ini dapat dilakukan dengan dua langkah, yaitu:
a. Berupaya agar setiap saat memenuhi GWM sesuai
Peraturan Bank Indonesia No. 15/15/PBI/2013 tanggal 24 Desember 2014.
1. GWM Rupiah
·
GWM primer sebesar 8% dari DPK Rupiah.
·
GWM sekunder sebesar 4% dari DPK Rupiah.
2. GWM dalam valuta asing sebesar 8% dari DPK
dalam valuta asing.
b. Memonitor besaran “basic surplus” untuk mendeteksi apakah terdapat potensi mismatch pada neraca bank. Basic surplus adalah selisih antara
aktiva lancar dikurangi pasiva lancar. Dalam memonitori indikasi mismatch tersebut, bank perlu terlebih
dahulu:
·
Meneliti setiap unsur dalam aktiva dan pasiva lancar berdasarkan sisa
jatuh waktu penagihan atau pembayarannya.
·
Menetapkan jangka waktu monitoring
yang dianggap cukup kritikal, misalnya mingguan, dua mingguan, dan
sebagainya.
·
Semua unsur tagihan (pinjaman atau portofolio) yang evergreen dan semua unsur sumber
pendanaan yang senantiasa mengendap (core
deposit) harus dikeluarkan dari perhitungan unsur aktiva lancar dan pasiva
lancar tersebut.
Apabila ditetapkan (sebagai contoh: monitoring mingguan), semua aktiva yang
dapat dicairkan tanpa menimbulkan kerugian atau biaya pencairan bagi bank dalam
jangka waktu selambat-lambatnya dalam waktu seminggu dan bukan merupakan
pinjaman yang evergreen,
diperhitungkan sebagai aktiva lancar. Demikian halnya dengan semua unsur
kewajiban bank yang harus dibayarkan dalam jangka waktu kurang dari satu minggu
dan bukan merupakan unsur core deposit,
harus dikelompokkan sebagai pasiva lancar.
Hasil monitoring
ini dapat diperoleh tiga kemungkinan, yaitu:
1. Basic surplus > 0 atau positif, yang berarti penempatan dari sumber dana yang
berjangka panjang pada penanaman yang berjangka pendek. Yang berarti terbuka
peluang untuk memperoleh margin tambahan apabila dapat dilakukan roll-over atas penanaman yang berjangka
pendek tersebut.
2. Basic surplus < 0 atau negatif, yang berarti terjadi penempatan dari sumber dana
yang berjangka pendek pada penanaman yang berjangka panjang. Di sini, dapat
terjadi potensi mismatch yang memerlukan
koreksi segera. Koreksi dapat berupa upaya untuk me-roll-over sumber-sumber dana jangka pendek yang akan jatuh waktuitu
atau memperpanjang atau mengupayakan jatuh waktu pelunasan yang lebih cepat
atas penanaman yang berjangka panjang.
3. Basic surplus = 0 atau square, yang
berarti tidak terjadi mismatch dan
tidak terbuka peluang untuk memperoleh margin tambahan.
F.
Monitoring
atau Posisi Likuiditas Jangka Panjang Beberapa Indikator sebagai Alat
Monitoring
Disamping mengamankan posisi likuiditas
dalam jangka pendek, bank perlu menyusun perkiraan posisi likuiditas setelah
memperhitungkan perkembangan usaha bank yang diproyeksikan dalam jangka waktu
atau periode tertentu. Untuk itu, ada beberapa gambaran proyeksi yang
memerlukan penelaahan lebih jauh melalui beberapa indikator monitoring, yaitu
Liquidity Ratio:
Liquidity Ratio =
|
Selisih Proyeksi
Aktiva dan Pasiva
|
Jumlah Kebutuhan
Dana
|
Dalam menyusun perkiraan atau proyeksi
kegiatan operasional bank sepanjang satu – tiga tahun ke depan, manajemen
menyusun gambaran perkiraan berapa banyak unsur dalam pasiva yang mungkin masih
dapat digali dan berapa besar pula permintaan penempatan dana yang merupakan
langkan ekspansi yang dapat dilakukan oleh bank.
Apabila perhitungan ternyata selilish
proyeksi aktiva dan pasiva bank menunjukkan besaran angka yang positif (berarti
liquidity ratio memperlihatkan angka
yang positif) maka terbuka dua kemungkinan yang dapat dilakukan oleh bank,
yaitu :
1. Bank
dapat mengerem atau mengurangi rencana ekspansinya yang tida ditunjang oleh
sumber – sumber pendanaan yang cukup, atau
2. Bank
berupaya menggali sumber – sumber pendanaan alternatif lainnya untuk menunjang
agar rencana ekspansi aktiva dapat tetap dilakukan.
Sebaliknya, jika ternyata liquidity ratio menunjukkan besaran yang
negatif, maka langkah – langkah korektif yang dapat dilakukan oleh bank atas
proyeksi itu adalah
1. Bank
harus mencari kemungkinan – kemungkinan tambahan untuk melakukan penempatan
dana yang lebih agresif, atau
2. Bank
melakukan seleksi yang lebih ketat atas penggalian sumber – sumber dana dan
hanya lebih memprioritaskan pengalihan dana dengan biaya pendanaan yang lebih
rendah.
Liquidity Index
Digunakan untuk mengetahui apakah dalam
jangka panjang bank secara keseluruhan membiayai aktivanya dengan sumber
pendanaan yang berjangka waktu lebih pendek (yang berarti merupakan rencana
pembiayaan yang lebih agresif) atau sebaliknya menggunakan sumber dana yang
berjangka waktu lebih panjang (yang berarti lebih konservatif).
Liquidity index =
|
Total Weighted
Liabilities
|
Total Weighted Asset
|
Total
weighted liabilities dan total weighted asset masing – masing
merupakan jumlah pembobotan semua unsur pada liabilities dan asset
dengan memberikan nilai bobot yang lebih tinggi bagi setiap unsur yang memiliki
janngka waktu maturity yang lebih
panjang.
Perhatian ekstra perlu diberikan jika liquidity index menunjukkan angka index
< 1 yang mencerminkan rencana pembiayaan aktiva yang lebih agresif
dibandingkan apabila angka indeks menunjukkan besaran < 1 yang
mengindikasikan rencana pembiayan yang lebih konservatif.
Loan to Deposit
Ratio (LDR)
Rasio yang menggambarkan perbandingan
yang antara besarnya jumlah pinjaman yang diberikan dengan jumlah daa
masyarakat yang dihimpun. Sesuai dengan ketentuan dari Bank Indonesia dalam
kaitan penilaian tingkat kesehatan bank. LDR yang berkisar antara 85% hingga maksimum
110% diniliai sebagai rasio LDR yang sehat.
Bank dnegan tingkat agresivitas yang
tinggi (yang tercermin dari angka LDR-nya yang tinggi, diatas 110%) akan
mengalami kesulitan likuiditas (dan sekaligus kesulitan rentabilitas). Hal itu
didasarkan anggapan bahwa loan dinilai
sebagai earning asset bank yang
kurang atau bahkan sangat tidak likuid. Dengan LDR yang tinggi, dapat diduga
bahwa cash – inflow dari pelunasan
pinjaman dan pembayaran bungan dari debitur pada bank menjadi tidak sebanding
dengan kebutuhan untuk memenuhi cash –
outflow penarikan dan – dana giro, tabungan, dan deposito yang jatuh waktu
dari masyarakat. Dapat diduga dengan LDR yang tinggi, bank secara potensial
dapat mengalami kesulitan likuiditas.
Additional
a.
Cost
of Liquidity Concept
Dalam
upaya manajemen likuiditas perlu diperhatikan biaya – biaya yang timbul dalam
pengendalian likuiditas, antara lain :
1. Biaya
karena menahan alat likuid (Cost of maintaning level of liquidity) yaitu biaya
yang timbul karena harus menahan sejumlah alat likuid dalam bentuk rekening di
bank koresponden, bank sentral, dan dalam bentuk kas.
2. Biaya
untuk mengcover risiko apabila terjadi kekurangan likuiditas (Cost from
insufficient liquidity) yaitu biaya yang timbul karena kurangnya likuiditas
yang ditahan sehingga harus mengeluarkan biaya lain yang lebih besar dari biaya
yang seharusnya dikeluarkan (biaya denda overdraft, biaya fasilitas diskonto,
biaya pengambilan kas yang mendadak).
Kedua biaya tersebut mempunyai
karakteristik yang berbeda dan berbanding terbalik yang dapat dijelaskan
sebagai berikut :
·
Apabila jumlah alat
likuid sedikit, maka biaya untuk menahan alat likuid kecil, tetapi biaya
kekurangan alat likuid akan besar bila terjadi penarikan besar.
·
Apabila menahan jumlah
alat likuid besar, maka biaya untuk menahan alat likuid tersebut besar (dana
idle), namun risiko kekurangan alat likuid akan menjadi kecil karena kewajiban
– kewajibannya dapat terpenuhi.
Dengan demikian, dalam mengelola
likuiditas perlu dipikirkan sejauh mana terjadi keseimbangan antara biaya
menahan alat likuid dengan risiko yang diakibatkannya,
Sebagai
ilustrasi adalah contoh dibawah :
Apabila suatu bank tidak mempunyai alat
likuid yang ditahan di Bank Indonesia atau di bank koresponden, berarti bank
tersebut tidak mengalami dana menganggur sehingga tidak ada biaya yang harus
dikeluarkan namun apabila bank tersebut mengalami penarikan dan (contoh
dibawah) sebesar 1.000 milyar rupiah maka bank harus mencari dana untuk menutup
penarikan tersebut dan hal itu berarti bank harus mengeluarkan biaya yang
“lebih besar” apabila bank mempunyai alat likuid, katakanlah biaya bank
tersebut 15 milyar rupiah
(Rp/Milyar)
|
||||
Jumlah Alat Likuid
|
Biaya Alat Likuid
|
Total Biaya Likuiditas
|
||
Ditahan
|
Kekurangan
|
Ditahan
|
Kekurangan
|
(TOTAL COST OF
|
(Maintained)
|
(Insufficient)
|
|
(Insufficient)
|
LIQUIDITY)
|
(a)
|
(b)
|
(c)
|
(d)
|
(e) = (c) + (d)
|
0
|
1000
|
0
|
15
|
15
|
250
|
750
|
3
|
10
|
13
|
500
|
500
|
5
|
5
|
10
|
750
|
250
|
10
|
3
|
13
|
1000
|
0
|
15
|
0
|
15
|
L
Likuidasi
bank bersumber dari seluruh assetdan seluruh liability dimana penggunaan asset
/ pelunasan liability berarti menurunkan likuidasi, atau sebaliknya pelunasan
asset / peningkatan liability berarti meningkatkan likuiditas.
Oleh sebab itu, maturity schedule, commitmen baik, loan maupun deposit termasuk estimasi dana / pinjaman masuk atau
keluar dangat penting sekali dalam penataan likuiditas.
b.
Cash Flow Concept
Adalah konsep yang mendasarkan pada arus
dana masuk (cash in) dan arus dana keluar (cash out) adapun langkah nya adalah
sebagai berikut ;
1. Menyusun
Tabel Basic Surplus
Adalah suatu tabel yang menggambarkan posisi netto antara dana masuk (liquid Funds) dengan dana keluar (day to day funds) dalam suatu periode waktu tertentu. “Basic surplus” disebut dengan posisi likuiditas bank. Basic surplus positif memiliki arti kelebihan dana dan sebaliknya Basic Surplus negative berarti kekurangan dana.
2.
Menyusun Liquidity
Profile (kebutuhan likuiditas)
Kebutuhan likuiditas adalah suatu
kondisi yang menunjukkan dana yang harus disediakan atau dibutuhkan dalam suatu
periode tertentu. Tujuan dari menyusun kebutuhan likuiditas ini agar bank dapat
mengetahui keadaan likuiditasnya sehingga dapat menyesuaikan perubahan
kebutuhan dana.
Gambar tabel :
Rumus
Liquidity Need Ratio
3. Menyusun
Indeks Likuiditas
Indeks likuiditas digunakan untuk
mengetahui sumber dan penggunaan dana secara keseluruhan ditinjau dari sudut
likuiditas. Melalui indeks likuiditas ini bank dapat melakukan penyesuian yang
diperlukan dalam mengatur jangka waktu asset liability dan dikaitkan dengan
kondisi eksternal agar tehindar dari resiko bisnis.
Gambar
tabel liquidity indeks :
c. Balance
Sheet Concept
Balance
sheet concept adalah konsep yang mendasarkan pada
posisi neraca. Terdapat dua pendekatan yang dipakai dalam konsep ini, yaitu Pool of Fund Approach dan Asset
Convertion Approach.
Pool of Fund Approach
Dasar pemikiran yang mendasari konsep ini adalah bahwa semua jenis sumber dana digabungkan menjadi satu wadah (pool) tanpamembedakan jenis dananya, kemudian dialokasikan ke masing-masing pengunaan dana.
Gambar Pool of Funds Approach
Pengalokasian
tersebut terlebih dahulu harus disertai dengan pertimbangan yang seksama.
Hal-hal yang dipertimbangkan antara lain misalnya: Peraturan Pemerintah, dana
historis yang menyangkut perubahan-perubahan sumber dan penggunaan dana, aliran
kas, proyeksi situasi ke masa depan, dan profitabilitas.
Asset Convertion Approach
Dasar
pemikiran yang melandasi konsep ini adalah bahwa semua jenis dana dibedakan
menurut likuid tidaknya dana.
Gambar Asset Convertion Approach
G.
Masalah
Likuiditas: Temporer atau Struktural?
Keadaan moneter yang bergejolak
menyebabkan nilai tukar rupiah dan diikuti oleh kenaikan tingkat inflasi dan
suku bunga bank menyebabkan bank tergencet dari berbagai sudut. Diantara
persoalan yang hadir secara serentak ada 3 persoalan utama bank, yaitu:
1. Akibat
dari adanya depresiasi rupiah yang demikian tajam dalam jangka waktu yang
sedemikian singkat. Menyebabkan deposan menarik dana dari perbankan dan
memindahkanya ke deposito valas pada perbankan asing. Selain itu bank bank
nasional devisa yang NOP (net open position) nya menunjukan adanya kewajiban
neto valas mengalami kesulitan likuiditas yang jauh lebih parah. Jatuhnya
keperca yaan masyarakat pada kemampuan
manajemen perekonomian makro yang dijalankan pemerintah, kewjiban valas
tersebut langsung dinyatakan jatuh waktu dan tidak dapat di roll over. Hal
inilah yang menyebabkan perbankan nasional sangat membutuhkan pasokan
likuiditas yang mendadak naik dengan tajam.
2. Akibat
dari terjadinya kenaikan tingkat suku bunga bank dan inflasi serta ketatnya
likuiditas perekonomian nasional. Kebijakan tigt money yang diterapkan bank
sentral tidak berhasil menahan jatuhnya nilai rupiah dan terjadi skandal BLBI
dan pelarian modal. Sebagai akibatnya suku bunga bank dan inflasi naik. Hal ini
menyebabkan perbankan nasional mengalami kesulitan likuiditas dan sebagian
besar bank mengalami negative spread.
3. Akibat
dari terjadinya peningkatan NPL dan menurunya kualitas aktiva produktif
perbankan nasional. Pertumbuhan perekonomian yang tinggi namun ternyata hanya
ditopang oleh penggunaan dana pinjaman luar negeri yang berjangka pendek telah
digunakan untuk membangun industri yang foot loose di dalam negeri menyebabkan
rapuhnya fundamental perekonomian. Efisiensi yang rendah dari penggunaan modal
pinjaman akibat dari kebijakan mempertahankan nilai tukar rupiah yang
overvalued dalam jangka waktu panjang menyebabkan industri di dalam negeri tidak tahan terhdap krisis
moneter. Hal ini yang mempengaruhi kualitas aktiva produktif perbankan nasional
yang mayoritas pinjaman korporasi yang sarat beban pinjaman offshore pula.
Dengan memburuknya kualitas aktiva
produktif, maka di satu sisi cash inflow terhambat dan di sisi lain cash
outflow berupa rush penarikan dana dari masyarakat harus dipenuhi. Oleh sebab
itu bank terpaksa mencari pasokan dana dan menjadi tergantung pada PUAB dengan tingkat suku bunga tinggi padahal di sisi lain penempatan dana bank
pada berbagai jenis portofolio mengalami kemacetan sehingga menyebabkan angka
NPL tinggi. Hal itulah yang menyebabkan bank mengalami kesulitan likuiditas dan
penurunan rentabilitas sekaligus. Kesulitan likuiditas pun dapat berubah dari
yang sifatnya temporer menjadi struktural.
Kesulitan likuiditas yang sifatnya
temporer adalah kesulitan likuiditas yang hanya menyangkut kekurangan pasokan
dana yang sementara belaka yang dapat diatasi dalam jangka waktu yang lebih
cepat dan mudah. Sedangkan kesulitan likuiditsa relatif lebih sulit diatasi
mengingat hal tersebut akibat dari:
1. Terdapatnya
mismatch dimana sumber pendanaan yang berjangka waktu pendek diinvestasikan
dalam penanaman yang berjangka waktu panjang.
2. Tidak
adanya kesesuaian antara maturity profile sumber pendanaan pada sisi pasiva
penanaman dana pada sisi aktiva dari neraca bank.
3. Terdapatnya
sumber pendanaan yang tidak stabil menyebabkan pasokan dana untuk melayani
penarikan oleh deposan berfluktuasi.
4. Terjadinya
penurunan atas kualitas aktiva produktif bank yang menyebabkan defisit atas
pasokan dana dalam memenuhi kebutuhan penarikan dana oleh deposan.
5. Terjadi
penurunan kepercayaan masyarakat terhadap manajemen bank akibat berbagai rumor
negatif dan buruknya kinerja bank.
Permasalahan likuiditas yang bersifat
struktural itu dapat terjadi karena jauh sebelum krisis bank bank ini pada
umumnya telah membukukan tingkat LDR yang tinggi sebagai cermin dari langkah
ekspansifnya.
H. Pengelolaan
yang Sehat atas Likuiditas Bank
1.
Pemantauan
likuiditas
Pemantauan atas likuiditas masing-masing
Bank Umum akan dilaporkan kepada Bank Indonesia secara periodik, berupa :
a.
Laporan proyeksi arus
kas yang wajib disampaikan dua kali sebulan, yaitu setiap tanggal 15 dan setiap
akhir bulan. Laporan proyeksi arus kas yang adalah laporan mengenai proyeksi
arus kas dalam tiga bulan yang akan datang dari pos-pos aktiva dan pasiva dalam
neraca serta dari tagihan dan kewajiban dalam rekening adiminastratif.
b.
Laporan maturity
profile yang wajib disampaikan satu kali sebulan, yaitu untuk posisi pada
setiap akhir bulan. Laporan maturity profile adalah laporan mengenai gambaran
dari pos-pos aktiva dan pasiva yang akan jatuh tempo.
2.
Pedoman
Likuiditas
Bank Indonesia juga mengharuskan Bank
menyusun pedoman likuiditas secara tertulis dalam rupiah maupun dalam valas.
Pedoman tersebut mencakup hal-hal sebagai berikut :
a.
Kebijakan pengelolaan
likuiditas Rupiah dan valas.
b.
Strategi untuk
mengantisipasi atau menanggulangi masalah likuiditas yang dihadapi bank,
termasuk ketidakmampuan membayar dalam jangka panjang serta hal-hal lain yang
dapat memperburuk kondisi bank.
c.
Asumsi-asumsi yang
mendasari proyeksi arus kas dari pos-pos aktiva dan pasiva dalam neraca serta
dari tagihan dan kewajiban dalam rekening administratif.
3. Fungsi membuat pedoman
likuiditas dan laporannya
Fungsi membuat, memantau, dan melaporkan
pedoman likuiditas serta menyususn kedua jenis laporan adalah :
a.
Melaksanakan
pengelolaan likuiditas yang sehat
Dengan melakukan
pengelolaan likuiditas yang sehat, Bank dapat segera mendeteksi
persoalan-persoalan likuiditas yang mungkin terjadi dalam jangka waktu panjang
maupun jangka pendek.
b.
Manajemen Bank
dapat melakukan koordinasi yang lebih
akurat dan efektif diantara unsur-unsur dalam struktur organisasi Bank yang
saling terkait.
c.
Melakukan pemantauan
atas unsur-unsur transaksi yang saling mempengaruhi, yaitu :
ü Posisi
kas bank dalam rupiah dan valas serta posisi saldo giro, sehingga bank dapat
melakukan tindakan lebih dini jika mengetahui adanya penyimpangan-penyimpangan
atas pemenuhan ketentuan-ketentuan yang berlaku yang wajib dipatuhi bank.
ü Pada
proyeksi arus kas tiga bulan yang akan datang, perhatikan jatuh tempo sesuai
kontrak dari pos-pos aktiva dan pasiva dalam neraca tagihan dan kewajiban dalam
rekening administratif; hal-hal yang dapat mempengaruhi terjadinya penerimaan
atau pembayaran; proyeksi perolehan sumber dana
ü Pada
maturity profile perhatikan aktiva dan pasiva dalam neraca yang akan jatuh
tempo sesuai kontrak atau asumsi lainnya bagi pos-pos yang jatuh temponya tidak
dinyatakan dalam kontrak.
ü Bank
dapat memperoleh gambaran atas arus kas
masuk dan arus kas keluar yang mencakup transaksi dalam rupiah.
v Pada
transaksi rupiah, arus kas masuk meliputi :
· Penjualan
dan pelunasan SBI, yaitu berupa proyeksi penerimaan dari SBI yang akan dijual
di pasar sekunder atau penerimaan dari pelunasan SBI yang sudah jatuh tempo.
· Antarbank
aktiva, berupa proyeksi penerimaan dari tagihan kepada bank lain berupa
pelunasan ataupun angsuran.
· Penjualan/pelunasan
surat-surat berharga yang akan dipasar sekunder atau penerimaan dari pelunasan
surat-surat berharga yang sudah jatuh tempo.
· Angsuran
kredit oleh nasabah
· Penerimaan
dana dari pihak ketiga, berupa proyeksi penerimaan simpanan dari pihak ketiga
yang baru ditempatkan oleh nasabah dalam bentuk giro, tabungan, dan deposito.
· Pendapatan
operasional, berupa penerimaan bunga, fee, atau penerimaan operasional lainnya.
· Transaksi
valuta asing jual, yang merupakan proyeksi penerimaan dari transaksi penjualan
valuta asing yang pembayarannya direncanakan dalm rupiah baik dilakukan secara
spot, forward, maupun lainnya.
· Arus
masuk lainnya, berupa proyeksi penerimaan yang diperoleh dari pos-pos lain yang
tidak termasuk diatas.
v Arus
kas keluar berupa :
·
Pembelian SBI yang akan
dibeli oleh bank baik di pasar primer maupun pasar sekunder
·
Pembelian surat-surat
berharga, yaitu proyeksi jumlah surat-surat berharga yang dibeli oleh bank di
pasar primer dan di pasar sekunder
·
Pencairan kredit oleh
nasabah yang merupakan proyeksi penarikan fasilitas kredit oleh nasabah baik
dari sisa kelonggaran tarik dari fasilitas yang sudah disediakan maupun dari
penyediaan fasilitas baru
·
Pembayaran dana pihak
ketiga, berupa penarikan simpanan ppihak ketiga dalm bentuk giro, tabungan,
deposito, oleh nasabah setelah dikurangi yang diperkirakan akan diperpanjang
·
Angsuran kredit dari
Bank Indonesia, berupa pembayaran angsuran atau pelunasan kredit likuiditas
atau fsilitas pinjaman lainnya yang diterima dari Bank Indonesia
·
Antarbank pasiva,
berupa proyeksi pembayaran angsuran atau pelunasan kewajiban kepada bank lain
·
Angsuran pinjaman yang
diterima dari pihak lain selain Bank Indonesia atau antarbank
·
Biaya operasional bank,
antara lain biaya pembayaran bunga, gaji pegawai, sewa gwdung dan biaya
operasional lainnya
·
Bank garansi atau L/C
yang diperkirakan harus dibayar oleh bank
·
Transaksi valuat asing
beli, berupa pembayaran untuk transaksi pembelian valas yang pembayarannya
direncanakan dalm rupiah baik dilakukan secara spot, forward, ataupun lainnya.
·
Arus kas keluar lainnya
untuk pos-pos lain yang tidak termasuk pos-pos diatas
ü Bank
dapat memperoleh gambaran atas arus kas
masuk dan arus kas keluar yang mencakup transaksi dalam valas.
v Pada
transaksi valas, arus kas masuk meliputi :
·
Antarbank aktiva, yaitu
proyeksi penerimaan tagihan kepada bank lain baik berupa pembayaran angsuran
maupun berupa pelunasan
·
Penjualan/pelunasan
surat-surat berharga yang akan dijual dipasar sekunder atau penerimaan dari
pelunasan surat-surat berharga yang sudah jatuh tempo
·
Angsuran atau pelunasan
kredit oleh nasabah
·
Penerimaan dana pihak
ketiga, yaitu proyeksi penerimaan simpanan pihak ketiga yang baru ditempatkan
oleh nasabah dlam bentuk giro, dan deposito
·
Pendapatan operasional
yang antara lain berupa penerimaan bunga, fee, atau penerimaan operasional
lainnya
·
Transaksi valuta asing
beli, yaitu berupa proyeksi transaksi pembelian valuta asing yang dilakukan
secara spot, forward ataupun lainnya
·
Arus kas masuk lainnya
untuk pos-pos lain yang tidak termasuk pos-pos diatas
v Arus
kas keluar valas meliputi :
·
Pembelian surat-surat
berharga yang merupakan proyeksi jumlah surat-surat berharga yang akan dibeli
bank di pasar primer maupun sekunder
·
Pencairan kredit oleh
nasabah berupa proyeksi penarikan fasilitas kredit oleh nasabah baik dari sisi
kelonggaran tarik dari fasilitas yang sudah disediakan maupun penarikan dan
penyediaan fasilitas baru
·
Pembayaran dana pihak
ketiga berupa proyeksi penarikan simpanan pihak ketiga dalam bentuk giro dan
deposit oleh nasabah setelah dikurangi yang diperkirakan akan diperpanjang.
·
Angsuran kredit dari
Bank Indonesia, berupa pembayaran angsuran atau pelunasan kredit likuiditas
atau fasilitas pinjaman lainnya yang diterima dari Bank Indonesia
·
Antarbank pasiva,
berupa proyeksi pembayaran angsuran atau pelunasan kewajiban kepada bank lain
·
Angsuran atau pelunasan
pinjaman yang diterima dari pihak lain selain Bank Indonesia dan antarbank
·
Biaya operasional bank,
antara lain biaya pembayaran bunga, gaji pegawai, sewa gwdung dan biaya
operasional lainnya
·
Bank garansi atau L/C
yang diperkirakan harus dibayar oleh bank
·
Transaksi valuat asing
jual, berupa proyeksi transaksi penjualan valas yang dilakukan secara spot,
forward, ataupun lainnya.
·
Arus kas keluar lainnya
untuk pos-pos lain yang tidak termasuk pos-pos diatas
DAFTAR
PUSTAKA
Bambang Djinarto ,
Banking Asset Liability Management, Strategi dan Pengelolaan Dana, Gramedia
Pustaka Utama , Jakarta.
Imam Rusamsi .1999.
Asset Liability Management , Strategi Pengelolaan Aktiva Pasiva Bank, UPP AMP
YKPN , Yogyakarta
Mashud Ali . MBA ,
MM.,Drs., Asset Liability Management, PT Elex Media Computindo, Gramedia
Jakarta.
Komentar
Posting Komentar