ANALISIS
APBN PERIODE TAHUN 2007-2012
I.
Analisa APBN Tahun 2007
APBN
2007 belum dikelola dengan baik untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Belanja negara akhirnya lebih banyak diporsikan membayar hutang dan belanja
birokrasi. Hampir seluruh departemen dan lembaga pemerintah, menghabiskan
60%-70% anggarannya untuk kebutuhan birokrasi, Sekretariat Nasional Fitra
mencatat, indikasi pemborosan dalam belanja birokrasi yang dilakukan pemerintah
pusat mencapai Rp102 triliun. Hal yang sama terjadi pada realisasi APBD 2007.
Belanja birokrasi dalam APBD 2007 di 467 daerah yang mencakup 33 provinsidan
434 kabupaten/ kota mencapai Rp130,4 triliun, atau menyedot 39% total dana
APBD. Cermin buruknya kualitas belanja pemerintah terlihat dalam besarnya porsi
belanja birokrasi pada sektor utama yang seharusnya mendapat prioritas,
yakni pendidikan dan kesehatan. Kedua sektor tersebut hanya mendapat
Rp66,6 triliun atau 8,9% dari total belanja Negara dalam
APBN 2007. Dari Rp51,3 triliun (6,9%) anggaran pendidikan sebagian besar
dihabiskan untuk birokrasi sebesar Rp 29 triliun dan tunjangan
Rp 4,8 triliun dan perkantoran Rp2,7triliun.
II.
Analisa APBN Tahun 2008
Dari
perkembangan keadaan ekonomi global pada awal tahun 2008 dan perkembangan harga
minyak dunia pada triwulan I 2008 yang mengalami perubahan yang cukup drastis
dimana harga minyak mencapai US$ 147/barel memaksa pemerintah untuk melakukan
revisi APBN 2008 pada awal pelaksanaannya, suatu hal yang belum pernah terjadi
terhadap APBN yang dilakukan perubahan diawal tahun.
Kemudian
badai krisis finansial Amerika tak hanya berhenti disitu, pada awal triwulan
III tahun 2008 beberapa lembaga keuangan USA mengalami kebangkrutan, akan
tetapi sebaliknya perkembangan harga minyak dunia malah mengalami penurunan
yang diakibatkan turunnya permintaan minyak dari USA karena sedang mengalami
kelesuan ekonomi yang tentunya penurunan harga minyak tersebut membawa angin
segar bagi Indonesia dimana subsidi BBM yang sebelumnya memaksa pemerintah
melakukan perubahan APBN diawal tahun dapat berkurang, tetapi penurunan harga
minyak juga akan mempengaruhi bagi hasil Migas yang mengecil. Hal -hal tersebut
merupakan suatu ketidakpastian yang cukup tinggi karena berkaitan dengan
keadaan geopolitik regional.
Pendapatan
Melihat
struktur APBN-P 2008 dan RAPBN 2009 terutama dari sisi pendapatan negara dan
hibah yang mencapai nilai diatas Rp.1.000 trilyun merupakan pengaruh dari
kenaikan harga minyak dan meningkatnya harga komoditas pangan di pasar dunia
sehingga berpengaruh kepada penerimaan pajak dan kontribusi BUMN kepada
pemerintah yang semakin meningkat.
Tidak
hanya itu kebijakan dalam kemudahan pajak dan revisi atas UU KUP 2007 yang
memberlakukan sunset policy kepada WP yang
beritikad baik untuk membayar pajak juga diharapkan akan memberikan pengaruh
yang signifikan terhadap penerimaan pajak. Mengenai target pendapatan
penerimaan negara yang 97% disumbang dari penerimaan pajak seharusnya masih
dapat ditingkatkan dengan melakukan perbaikan administrasi dan kepatuhan WP dalam
membayar pajak
Pemerintah
juga harus dapat menciptakan iklim investasi dalam negeri yang menarik bagi
para investor sehingga bersedia untuk menanamkan modalnya di Indonesia dan
sejalan dengan meningkatnya investasi tersebut diharapkan terjadi peningkatan
dalam sektor penerimaan perpajakan.
Belanja
Dilihat
dari prioritas belanja pemerintah dalam tahun 2008 yang menekankan pada
percepatan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan, maka
pemerintah lebih memprioritaskan alokasi dana untuk peningkatan investasi,
pengurangan pengangguran dan peningkatan sarana pendidikan sudah cukup tepat
untuk dilaksanakan.
Kemudian
proritas pembangunan nasional 2009 yang masih mengambil tema peningkatan
kesejahtreraan rakyat dan pengurangan kemiskinan dengan pelaksanaan peningkatan
ketahanan pangan sudah cukup tepat. Diharapkan apabila ketahanan pangan dapat
terjaga maka diharapkan sektor riil di Indonesia tidak terlalu terpengaruh akan
krisis finansial global. Karena pemicu terjadinya inflasi di Indonesia
sebenarnya bukan disebabkan berlebihnya peredaran uang di masyarakat tetapi
lebih dipengaruhi kondisi sektor rill yang rentan akan pengaruh dari luar
dimana Indonesia masih terlalu bergantung kepada impor atas komoditi pokok.
Kebijakan
alokasi belanja dimana diprioritaskian untuk memacu pertumbuhan (pro-growth), menciptakan dan memperluas lapangan kerja
(pro-job), serta mengurangi kemiskinan (pro-poor), sehingga pengalokasian belanja lebih
diutamakan untuk investasi, bantuan sosial, dan subsidi dengan tujuan
menstabilkan harga barang/komoditas pokok dipasar diharapkan dapat menciptakan
kemandirian sektor riil.
Pembiayaan
Besarnya
pembiayaan ditentukan oleh kebutuhan pemerintah untuk menutup defisit APBN,
investasi dan refinancing utang yang akan
dilakukan pemerintah. Dalam penentuan besaran pembiayaan tersebut harus
memperhatikan segala risiko fiskal yang akan terjadi di masa datang.
Kebijakan
pembiayaan yang beralih dari penjualan asset dan restrukturisasi BUMN kepada
pembiayaan yang bersumber dari utang dalam negeri melalui penerbitan SBN
sebelumnya harus dipikirkan mengenai kemampuan membayar kembali utang tersebut
dimasa datang sehingga utang yang diperoleh saat ini tidak mempengaruhi
kemampuan fiskal pemerintah dimasa depan.
Beralihnya
sumber pembiayaan dari non-utang tersebut, merupakan suatu keputusan yang tepat
dimana semakin sedikitnya jumlah asset dan BUMN yang dapat diprivatisasi oleh
pemerintah. Juga beralihnya pembiayaan yang bersumber dari utang dengan
memprioritaskan utang yang bersumber dari dalam negeri didasarkan atas
pertimbangan risiko ekternal yang dimiliki Indonesia yang cukup tinggi sehingga
pemerintah memeprtimbangkan menjual SBN di dalam negeri agar tidak terpengaruh
kepada nilai tukar valas. Selain itu pembiayaan yang bersumber dari utang harus
dibarengi dengan pengelolaan utang yang hati-hati dan menganut prinsip Good Government.
III.
Analisa APBN tahun 2009
Kebijakan
Pokok APBN Tahun 2009
Pokok-Pokok Kebijakan Pendapatan
Negara dan Hibah
1.
Penerimaan Perpajakan Non-Migas tahun 2009 mengalami pertumbuhan nominal 20,4
persen, dan telah memperhitungkan potential loss dari amandemen UU PPh dan PPN
yang memberikan instentif kepada dunia usaha dan masyarakat berpendapatan
menengah ke bawah.
2.
Penerimaan kepabeanan telah memperhitungkan penurunan harga internasional untuk
CPO dan berbagai perjanjian bilateral melalui free trade agreement, serta
kecenderungan penurunan tarif bea masuk pada umumnya.
3.
Kebijakan Penerimaan Perpajakan juga mengakomodasikan Pajak Ditanggung
Pemerintah atas sektor-sektor tertentu dalam rangka penanggulangan dampak
perlambatan ekonomi global dan pemulihan sektor riil (counter cyclical) sebesar
Rp10 triliun.
4.
Jenis penerimaan baru dalam PNBP yaitu Pendapatan atas pengelolaan rekening
tunggal Perbendaharaan (treasury single account) dan/atau atas penempatan uang
negara sebesar Rp 3 triliun.
KEBIJAKAN PENERIMAAN PERPAJAKAN
§ Intensifikasi
perpajakan.
§ Ekstensifikasi
perpajakan guna memperluas basispajak
§ Peningkatan
kepatuhan wajib pajak (lawenforcement) terutama untuk menindaklanjuti
§ kebijakan
sunset policy di tahun 2008
§ Melanjutkan
kebijakan tarif hasil tembakau dengan menurunkan tarif advalorum dan menaikkan
tarif spesifik;
§ Implementasi
INSW tahap III dan ASEAN Single Window (ASW)
§ Pemberian
fasilitas kepabeanan dalam rangka mendorong investasi dan perdagangan dalam
§ bentuk
DTP bea masuk dan/atau PDRI
KEBIJAKAN PNBP
§ Peningkatan
koordinasi dalam rangka optimalisasi produksi minyak dan gas yang didukung
dengan fasilitas fiskal dan nonfiskal.
§ Pengendalian
cost recovery melalui:
§ pengendalian
alokasi biaya,
§ evaluasi
komponen biaya produksi yang dapat dibiayakan (negative list), serta
§ evaluasi
standar biaya pengadaan barang dan jasa oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama
(KKKS).
§ penyempurnaan
ketentuan tentang cost recovery
§ Percepatan
penyelesaian kewajiban Pertamina/KKKS
§ kepada
pemerintah terkait kegiatan migas
§ Optimalisasi
sumber PNBP, khususnya dari sektor
§ pertambangan.
§ Peningkatan
kinerja dan pengembangan BUMN.
§ Peninjauan
dan penyempurnaan peraturan PNBP K/L serta
§ Peningkatan
pengawasan pengelolaan PNBP K/L
Pokok-Pokok Kebijakan Belanja
Negara
Alokasi
anggaran belanja pemerintah pusat difokuskan untuk Mendukung pelaksanaan
tema pembangunan 2009: “PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN PENGURANGAN
KEMISKINAN”.
Mendukung
Prioritas RKP 2009, yaitu : Peningkatan pelayanan dasar dan pembangunan
perdesaan. Kedua, Percepatan pertumbuhan yang berkualitas dengan
memperkuat daya tahan ekonomi yang didukung oleh pembangunan pertanian,
infrastruktur, dan energi. Ketiga, – Peningkatan upaya anti korupsi, reformasi
birokrasi, serta pemantapan demokrasi, pertahanan dan keamanan dalam negeri.
Mendukung
sasaran Pembangunan tahun 2009, yaitu : Kenaikan pertumbuhan ekonomi
(6%), Pengurangan Kemiskinan (12% -14%), Pengurangan Pengangguran (7,0% – 8,0%)
IV.
Analisa
APBN Tahun 2010
Pelaksanaan
APBN-P tahun anggaran 2010 secara umum mencatat kinerja yang cukup
menggembirakan. Selain didukung oleh keberhasilan berbagai langkah kebijakan
yang ditempuh oleh pemerintah dalam rangka mengamankaan pelaksanaan APBN 2010,
kinerja APBN-P 2010 juga tidak terlepas dari pengaruh perkembangan kondisi
ekonomi makro yang cukup baik.
a. Dengan melihat pertumbuhan ekonomi hingga triwulan III
tahun 2010 yang mencapai 5,9%, pertumbuhan ekonomi dalam tahun 2010
diperkirakan dapat mencapai 6,0%, lebih
tinggi dari asumsi pertumbuhan ekonomi dalam APBN-P 2010 sebesar 5,8%.
b. Tingkat inflasi selama tahun 2010 dapat dikendalikan pada
kisaran 6,75%. Angka ini lebih tinggi dari perkiraan semula dalam APBN-P 2010
sebesar 5,3%. Hal ini terutama disebabkan oleh tingginya iflasi pada volatile food berkenaan dengan
terganggunya pasokan beberapa komoditas pangan, seperti beras dan kelompok
aneka bumbu-bumbuan, antara lain akibat tidak menentunya iklim, dan terjadinya
bencana alam.
c. Realisasi rata-rata tingkat suku bunga SBI-3 bulan dalam
tahun 2010 mencapai 6,75%, atau mendekati asumsinya dalam APBN-P 2010 sebesar
6,5%.
d. Realisasi rata-rata nilai tukar Rupiah dalam tahun 2010
mencapai Rp9.087/US$, menguat dari asumsinya dalam APBN-P sebesar rata-rata
Rp9.200/US$. Penguatan ini antara lain berkaitan dengan besarnya cadangan
devisa akibat kuatnya arus modal asing yang masuk ke Indonesia, yang
menyebabkan meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap nilai tukar rupiah.
e. Realisasi harga minyak mentah Indonesia dalam tahun 2010
rata-rata mencapai US$78,07/barel, sedikit dibawah perkiraan APBN-P 2010
sebesar US$80,0/barel.
f.
Realisasi
lifting minyak mentah Indonesia dalam
tahun 2010 hanya mencapai 954 ribu barel per hari, lebih rendah dari target
APBN-P 2010 sebesar 965 ribu barel per hari.
Defisit
anggaran yang dalam APBN-P 2010 semula ditetapkan sebesar Rp133,7 triliun (2,1
persen terhadap PDB), realisasinya mencapai Rp39,5 triliun (0,62 persen
terhadap PDB). Lebih rendahnya realisasi defisit anggaran dalam pelaksanaan APBN-P
tahun 2010 tersebut, selain berkaitan dengan terlampuinya realisasi pendapatan
negara dan hibah dari target, juga disebabkan oleh lebih rendahnya realisasi
belanja negara dibanding dengan pagunya dalam APBN-P.
Dalam
tahun 2010, realisasi pendapatan negara dan hibah mencapai Rp1.014,0 triliun
(16,0 persen dari PDB). Pencapaian ini lebih tinggi Rp21,6 triliun (2,2 persen)
dari sasaran APBN-P 2010 sebesar Rp992,4 triliun, atau naik Rp165,2 triliun
(19,5 persen) dari realisasi tahun 2009 sebesar Rp848,8 triliun. Dari jumlah
tersebut, realisasi penerimaan perpajakan mencapai Rp744,1 triliun (100,1
persen dari sasaran APBN-P 2010 sebesar Rp743,3 triliun), atau naik sebesar
Rp124,1 triliun (20 persen) dari realisasi 2009 sebesar Rp619,9 triliun.
Di
lain pihak, realisasi anggaran belanja negara dalam tahun 2010 mencapai
Rp1.053,5 triliun, atau 93,5 persen dari pagu APBN-P 2010 sebesar Rp1.126,1
triliun. Jumlah ini berarti naik Rp116,1 triliun atau 12,4 persen dari
realisasi belanja negara tahun 2009 sebesar Rp937,4 triliun. Dari realisasi
anggaran belanja negara tersebut, realisasi belanja pemerintah pusat mencapai
Rp708,7 triliun (90,7 persen dari pagu APBN-P 2010 sebesar Rp781,5 triliun),
atau naik sebesar Rp79,9 triliun (12,7 persen) dari realisasi tahun 2009
sebesar Rp628,8 triliun. Pada anggaran belanja pemerintah pusat ini, realisasi
belanja pegawai mencapai 90,8 persen dari pagu, antara lain berkaitan dengan
adanya penghematan cadangan anggaran pegawai baru, pos honorarium dan vakasi,
dan anggaran remunerasi K/L. Sementara itu, realisasi belanja barang juga hanya
mencapai 84,1 persen dari pagu, antara lain berkaitan dengan terlalu tingginya
tingkat kehati-hatian para pejabat pengadaan barang dan jasa dalam mengambil
keputusan. Sejalan dengan itu, realisasi belanja modal hanya mencapai 79,4
persen dari pagu, antara lain berkaitan dengan terhambatnya pelaksanaan
berbagai kegiatan pembangunan infrastruktur terutama sebagai akibat tingginya
intensitas curah hujan, banyaknya bencana alam dan masalah-masalah dalam
pengadaan/pembebasan lahan, adanya penghematan anggaran dari pelaksanaan
tender, dan tidak optimalnya penarikan atau pemanfaatan pinjaman luar negeri.
Begitu pula, realisasi bunga utang mencapai 83,6 persen dari pagu, karena penghematan beban
bunga akibat pengurangan target penerbitan SBN, membaiknya pasar SBN, lebih
rendahnya tingkat bunga SBI 3 bulan, dan menguatnya nilai tukar rupiah.
Realisasi
pembiayaan anggaran dalam tahun 2010 mencapai Rp86,6 triliun, atau Rp47,1 triliun (35,3 persen) lebih rendah
dari target APBN-P 2010 sebesar Rp133,7 triliun. Realisasi ini terutama berasal
dari pembiayaan dalam negeri Rp95,0 triliun (lebih rendah Rp38,9 triliun dari
target APBN-P 2010 sebesar Rp133,9 triliun), atau turun Rp29,0 triliun dari
realisasi 2009 sebesar Rp128,1 triliun. Hal ini terutama berkaitan dengan adanya pengurangan target penerbitan SBN
sebesar Rp16,4 triliun (untuk pertama kalinya); dan pengurangan penggunaan SAL
sebesar Rp22,0 triliun. Hal ini sesuai dengan kesepakatan antara Pemerintah dan
Badan Anggaran DPR-RI pada saat Pembahasan Realisasi Semester I dan Prognosis
Semester II APBN-P 2010. Sementara itu, realisasi pembiayaan luar negeri
mencapai sebesar negatif Rp8,4 triliun, atau turun Rp8,3 triliun dari target
APBN-P 2010 sebesar Rp0,2 triliun. Hal ini terutama berkaitan dengan lebih
rendahnya penarikan pinjaman proyek dan realisasi penerusan pinjaman, serta
adanya penghematan pembayaran cicilan pokok utang luar negeri sebagai dampak
dari apresiasi kurs rupiah. Dengan realisasi defisit anggaran sebesar Rp39,5
triliun, sementara realisasi pembiayaan
anggaran mencapai Rp86,6 triliun, maka dalam pelaksanaan APBN-P 2010 terdapat
kelebihan pembiayaan sebesar Rp47,1 triliun sebagai SiLPA, yang dapat digunakan
sebagai salah satu sumber pembiayaan anggaran di tahun mendatang.
V.
Analisa APBN Tahun 2011-2013
Pendapatan
Negara
Pendapatan
Indonesia dari tahun 2011 sampai tahun 2013, dilihat dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN), mengalami kenaikan tiap tahunnya (tahun 2011-2013),
tercatat pendapatan pada tahun 2011 mencapai 1.210.599,6 milyar rupiah dan
meningkat pada tahun-tahun selanjutnya, menjadi 1.358.205,0 milyar rupiah
pada tahun 2012, dan 1.529.673,1 milyar rupiah pada tahun 2013.
Perpajakan
masih menjadi primadona bagi pendapatan negara, dengan lebih dari 72%
penerimaan negara berasal dari sektor perpajakan. Tercatat penerimaan dari
sektor perpajakan selalu meningkat tiap tahunnya sehingga menyebabkan
peningkatan pendapatan negara Indonesia, pada 2011 pendapatan dari sektor pajak
sebesar 873.874,0 milyar rupiah atau 72,16% dari total pendapatan negara, pada
2012 sebesar 1.016.237,3 (74,82% dari pendapatan negara) dan pada 2013 menjadi
1.192.994,1 (77,99%).
Jika
kita cermati lebih dalam dari rincian APBN, dapat kita temukan bahwa pendapatan
dari sektor pajak paling besar diberikan oleh PPh Nonmigas. 358.026,2 milyar
rupiah merupakan angka yang dihasilkan sektor ini pada tahun 2011 dan meningkat
dalam beberapa tahun ke depan, yaitu menjadi sebesar 445.733,4 milyar rupiah
pada tahun 2012, dan 513.509,0 milyar rupiah pada tahun 2013. Sedangkan sektor
yang memberikan pendapatan paling sedikit berasal sari sektor perikanan, sektor
tersebut hanya menyumbang 183,8 milyar rupiah pada 2011, 150,0 milyar rupiah
pada 2012, dan 180,0 milyar rupiah pada 2013. Hal tersebut sungguh ironis dan
membuat miris, mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki
perairan yang sangat luas, namun dalam kenyataannya hanya menghasilkan
pendapatan yang bisa dibilang sangat kecil bagi negara yang memiliki perairan
yang sangat luas. Hal tersebut mengindikasikan ada yang salah dalam pengelolaan
sektor perikanan di Indonesia.
Pendapatan
yang sangat besar dari sektor perpajakan tidak sepatutnya dinodai oleh para
pelayan pajak yang melakukan korupsi, seperti kasus Gayus Tambunan CS. Karena
hal tersebut dapat menjadikan kepercayaan masyarakat menurun terhadap negara
untuk memberikan uangnya bagi sektor perpajakan, mereka tidak mau uang yang
mereka setorkan untuk pajak tidak masuk ke kas negara malah masuk ke saku-saku
oknum-oknum pegawai pajak yang korup.
Terlepas
dari hal diatas, sebenarnya negara masih bisa mendapatkan pendapatan yang lebih
besar dari sektor pajak, karena potensi pajak negara Indonesia dengan 250 juta
penduduknya sangat besar, namun demikian masih sangat banyak warga negara
Indonesia yang kesadarannya untuk membayar pajak minim, hal ini juga menjadi
pekerjaan rumah bagi pemerintah, agar pendapatan yang dihasilkan dari sektor
perpajakan bisa melambung tinggi jauh lebih tinggi dari pendapatan sekarang
ini.
Belanja
Negara
Belanja
negara juga mengalami peningkatan setiap tahunnya seperti pendapatan negara,
tercatat 1.294.999,2 milyar rupiah pada 2011, 1.548.310,4 milyar rupiah pada
2012, dan 1.683.011,1 milyar rupiah pada 2013.
Dilihat
dari belanja pemerintah pusat menurut fungsi, sektor pelayanan umum melakukan
pembelanjaan terbesar dari tahun ke tahun, yaitu 508.945,5 milyar rupiah
(2011), 659.142,5 milyar rupiah (2012), dan 720.059,7 milyar rupiah (2013).
Diikuti oleh fungsi ekonomi di peringkat kedua dan fungsi pendidikan di
peringkat ketiga.
Sedangkan
Agama menjadi fungsi yang paling kecil anggaran belanjanya, tercatat 1.424,7
milyar rupiah (2011), 3.577,1 milyar rupiah (2012), dan 4.100,1 milyar rupiah
(2013), diikuti setingkat diatasnya pariwisata 3.553,5 milyar rupiah (2011),
3.166,8 milyar rupiah (2012), dan 2.509,3 milyar rupiah (2013), lalu
perlindungan sosial. 3.906,4 milyar rupiah (2011), 5.556,0 milyar rupiah
(2012), dan 7.416,4 milyar rupiah (2013).
Melihat
pariwisata masuk dalam tiga besar dengan anggaran belanja paling sedikit
membuat kita berpikir, apakah memang pariwisata di Indonesia tidak membutuhkan
anggaran yang banyak, ataukah sebaliknya, pariwisata kita membutuhkan anggaran
yang banyak, namun kenyataannya pemerintah hanya menganggarkan dana yang
sedikit bagi pariwisata. Melihat dari fakta dan kondisi di lapangan, sepertinya
alasan yang kedualah yang menjadikan anggaran belanja pariwisata masuk tiga
terbawah, pemerintah tidak serius dalam menggarap pariwisata Indonesia,
terlihat masih banyaknya objek pariwisata di Indonesia yang tidak terawat dan
malah terbengkalai. Contohnya dapat dilihat dari beberapa pantai di daerah
selatan Jawa, seperti pantai Ujung Genteng, pantai tersebut memiliki keindahan
yang menjadikan daya pikat tersendiri bagi wisatawan, namun akses jalan untuk
menuju kesana sangat tidak memuaskan, banyak jalan yang kondisinya kurang
layak, selain itu tidak adanya bentuk promosi untuk pantai tersebut, menjadikan
pantai tersebut tidak banyak diketahui orang. Atau mungkin pemerintah Indonesia
merasa sudah cukup dengan pariwisata Bali yang menghasilkan devisa yang sangat
besar bagi negara. Kalau demikian, maka jelaslah sudah, pemerintah Indonesia
tidak serius dalam menggarap sektor pariwisatanya.
Namun
jika kita cermati secara seksama, dapat kita temukan bahwa sebenarnya yang
paling besar menyedot belanja negara itu adalah dana perimbangan, bahkan
menembus 400.000 milyar rupiah atau setara 400 trilliun. Dengan rincian
347.246,2 milyar rupiah (2011), 408.352,1 milyar rupiah (2012), dan 444.798,8
milyar rupiah (2013). Dana perimbangan, yaitu dana yang bersumber atau
penerimaan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan
daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang diatur dengan UU. No 33
tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Hal
itu sudah cukup membuktikan bahwa sistem demokrasi (desentralisasi) memang
membutuhkan dana yang sangat besar dalam kegiatannya.
tabel nya gk ad mas
BalasHapus